Resensi
Judul Buku :Melawan Stereotip (Etnografi,
Reproduksi Identitas, Dan
Dinamika Masyarakat Katobengke Buton
yang Terabaikan)
Penulis :
Tasrifin Tahara
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)/PT.
Gramedia
Kota Penerbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Jumlah
Halaman :301 Halaman
Melawan
Stereotip (Etnografi, Reproduksi Identitas, dan Dinamika Masyarakat Katobengke
Buton yang Terabaikan) adalah judul buku, yang menurut saya sangat menarik. Melawan stereotip? Pertama–tama apa sih stereotip
itu?. Stereotip menurut saya adalah sebuah citra yang diberikan pada seseorang
atau sebuah kelompok tertentu. Stereotip juga diartikan sebagai penilaian
terhadap sebuah kelompok masyarakat atau kepada individu berdasarkan persepsi
terhadap kelompok tersebut dikategorikan. Stereotip dapat berupa prasangka
positif dan negatif dan kadang-kadang
dijadikan alasan untuk melakukan
tidakan diskriminasi.
Di
zaman modern saat ini ternyata masih banyak reproduksi masa lalu, yang
dipertahankan hingga saat ini. Di masa lalu masyarakat yang menjadi pelayan
kesultanan Buton, masih digolonkan golongan rendah hingga saat ini. Padahal
sebagai warga Indonesia yang hidup di zaman kemerdekaan, seharusnya merasakan
kehidupan persamaan, kesetaraan dengan yang lain. Tidak ada stereotip tertentu
yang disandangkan kepada orang Katobengke. Karena kita semua sama, manusia
ciptaan mahakuasa.
Setelah
membaca buku ini, yang ditulis oleh Tasrifin Tahara saya dapat mengetahui bahwa
stereotip yang disandangkan kepada orang Katobengke didasarkan pada beberapa
hal. Di masyarakat Buton terbagun ideologi kekuasaan yang terbagi tiga
kelompok, yaitu Kaomu (bangsawan), walaka (Menengah) dan papara. Kelompok
papara inilah yang dianggap kelompok rendah
dan masyarakat Katobengke digolonkan
pada kelompok papara, kelompok kotor, berpenyakit kudis dan identik pekerja
kasar. Padahal sebenarnya dimasa
silam, kelompok papara Katobengke yang
menetap diwilayah Kadie dalam kesultanan Buton menurut Idrus Amin, Katobengke
merupakan kelompok papara paling istimewa dibanding dengan papara lain karena
posisi wilayah mereka yang berdekatan
dan mendampingi ibu kota kesultanan (Wolio). Meraka adalah pekerja yang digaji oleh bangsawan kelompok kaomu dan walaka sehingga posisi
mereka dekat dan dapat diartikan mewakili karakter para pekerja profesional
ketimbang budak.
Setelah
berakhirnya kesultanan Buton pada tahun
1960, seharusnya pandangan masyarakat buton yang memposisikan orang Katobengke
seperti pada masa kesultanan Buton sudah tidak ada lagi. Namun pemikiran lama
telah disegarkan oleh kelompok kaomu-walaka dan kelompok lain di Buton. Hal ini
dibuktikan dengan banyak contoh stereotip yang disandangkan pada masyarakat
Katobengke, seperti:
1. A. Orang Katobengke dianggap bodoh,
Anggapan seperti ini masih bertahan
hingga tahun 1970- an dan menjadi kewajaran orang Katobengke itu bodoh karena
memang mereka tidak belajar atau sekolah. Mereka tidak bersekolah karena ada
beberapa anggapan bahwa jika mereka sekolah dan menjadi pintar mereka akan
sewenag-wenang pada orang lain. Mereka tidak ingin sekolah karena bagi mereka
sekolah itu adalah penjajahan dan jika mereka mau bersekolah ada keloimpok lain
yang sering menakut-nakuti bahwa kalau sudah sekolah nanti ada yang menculik
dan memperkosa. Itu sebabnya hingga tahun 1980-an masih jarang orang Katobengke yang sekolah.
Orang tua mereka takut, apalagi jika anak mereka perempuan, takut jika diganggu
dijalan dan diperkosa. Bagi anak laki-laki di Katobengke, mereka memilih berkebun karena hasilnya lebih cepat kelihatan.
2. B. Orang Katobengke kuat makan
Stereotip bahwa orang katobengke kuat
makan itu menjadi bahan olok-olokan. Namun sebenarnya menurut La Anta salan satu imforman penulis
sangat wajar jika orang Katobengke itu kuat makan nasi dan menghabiskan sampai berpiring-piring
karena kandungan seratnya sedikit sehingga tidak mengenyangkan jika dibandingka makana sehari-hari mereka
yakni mengkonsumsi tepung tapioka yang dikukus menjadi kasaomi. selain itu mereka juga mengkomsumsi jagung
tua yang direbus yang disebut kambuse.
3. C. Orang Katobengke berkaki lebar
Pada tahun 1970-1n orang Katobengke
tiap pagi dan siang hari berjalan ke pasar secara bergerombol dan tidak
menggunakan alas kaki, walaupun terik matahari menyengat. Kebiasaan mereka
membuat tapal kaki mereka mengeras seperti sol sepatu. Kaki mereka pun menjadi
lebar dan jari-jarinya seperti jempol semua yang mengeras. Kondisi kaki mereka
yang seperti itu telah menjadi ciri khas orang Katobengke. Meski menjadi bahan
olok-olokan, kondisi kaki yang lebar dan kuat juga menjadi keunggulan mereka
dibidang olaraga sepak bola dan karate. Bahkan salah satu dari orang Katobengke
yang bernama La Zaari pernah meraih medali emas dibidang karate untuk Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam pekan olaraga Nasional (PON) ke-12 di Jakarta.
4. D. Orang katobengke Batua
Ada beberapa alasan yang menempatkan
orang Katobengke itu Batua. Menurrut
orang Walio, kebijakan kesultanan menempatkan orang Katobengke di lokasi
pemukiman mereka yang sekarang karena mereka dipandang Batua. Lokasi yang sekarang
mereka huni banyak binatanfg buas termasuk ular dan para batua ini ditempastkan
sebagai mangsa binatang agar binatang terssebut tidak sampi di Wolio. Selain
hal tersebut diatas, La Zia salah satu imforman penulis menuturkan bahwa alasan
utama sehingga orangf katobengke di anggap Batua adalah karena pekerjaan mereka
yakni berkebun, penjual ikan, tukang gali sumur, pemanjat kelapaa atau
semacamnya yang menyangkut orang disuruh-suruh. Namun mereka menyikapi bahwa
tidak ada istilah batua bagi kelompoknya dan itu hanya anggapan internal orang
Wolio. Kondisi seperti itu hanyanlah pekerjaan profesional mereka untuk
kelangsungan hidupnya. Stereotip sebagai batua juga muncul pada ajang politik
sebut saja ketika pemilihan walikota dan wakil walikota Bau-Bau periode
2009-2013 dan pemilihan calon legislatif
tahuin 2009. Pada saat pemilihan walikota dan wakil walikota muncul wacana kalau orang Katobengke
mendukung atau memilih pasangan Drs. MZ Amirul Tamin, M.Si dan Drs. H. Laode
Muh. Halaka Munarfa maka orangb Katobengke akan menjadi batua seperti pada masa
kesultanan buton. Isu itu muncul dan berkembang karena salah satu calon ( H.
Laode Muh. Halaka Manarfa) adalah cucu sultan Buton ke-38 Laode Muhammad
Falihi.
5. Stereotip bagi perempuan katobengke
Pada awalnya perempuan pada masa kesultanan Buton sangat
istimewa , hal ini dapat dilihat dengan diangkatnya raja pertama dan raja kedua kerajaan buton
yang adalah perempuan yakni Ratu Wa Kaab
Kaa dan ratu Bulawambona. Namun kemerosotan kedudukan perempuan terjadi sterlah
masuknya islam sebagai agama resmi
kerajaan perempuan pada saat itu tidak diberi nlagi peluang untuk menjadi raja.
Dalam hubungan perkawinan ketegangan paling tinggi dirasakan oleh kelompok
nkaomu-walaka karena mereka tidak diperbolehkan menikah dengan laski-laki yang
berasal kelompok status sosial rendah. Lain halnya perempuan katobengke sejak
dahulu perempua katobengke berperan pada sektor publik sperti nberkebun,
pembuat gerabah, penjual keliling dan sebagainya. Mereka juga berprofesi sebagai ibu rumah
tangga. Banyak perempuan Katobengke yang sering berjalan menjajakan barang
dagangan dan menjadi bahan olok-olokan bahkan menjadi sasaran tindakan
pelecehan oleh pemuda-pemuda berandal.
Bebagai
macam stereotip yang disandangkan kepada masyarakat Katobengke, menjadi sesuatu
yang memuakkan pada masyarakat katobengke. Sehingga sebagian dari mereka
berusaha bangkit dan melawan stereotip. Seperti yang dilakukan oleh Haji La
Saeli adalah seorang yang berasal dari
Katobengke dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan bendahara
rutin pada dinas pendapatan dan badan
pengelolaan keuangan pemerintah kota Bau-Bau. Haji La Saeli memiliki
cita-cita menjalankan ibadah haji, namun
dikalangan masyarakat buton, tersebar
desus-desus bahwa orang Katobengke tidak akan selamat ketika mencapai mekah.
Setinggi-tingginya orang Katobengke beribadah, cukup beribadah di tanah Buton
saja. Haji La Saeli memberanikan diri melawan stereotip tersebut dan naik haji.
Ternyata Haji La Saeli berhasil menunaikan ibadah haji dan kembali dengan selamat.
Dijalur
pendidikan pun, masyarakat Katobengke melawan stereotip yang menyatakan mereka
bodoh. Memang hingga tahun 1980-an banyak masyarakat Katobengke yang bodoh
karena belum ada yang bersekolah.
Menurut salah satu informan penulis, yang bernama La Zia, dialah orang
pertama di Katobengke yang sekolah, itupun banyak tantangan yang ia hadapi
seperti larangan dari neneknya, olok-olokan temannya. Olok-olokan yang dialami
oleh La Zia telah membuatnya lebih termotivasi sekolah. Setelah berjuang untuk
sekolah pada akhirnya La Zia bisa menjadi guru dan hal tersebut memberi
pengaruh besar kepada orang di Katobengke. Banyak yang mulai sekolah dan sadar
akan pentingnya pendidikan.
Stereotip
yang di sandangkan pada masyarakat Katobengke menjadi sebuah pertarungan
tersendiri. Stereotip itu telah dimaknai
oleh orang Katobengke sebagai suatu motivasi untuk maju, berkembang dan naik kelas. Yang dibuktikan dibeberapa arena
pertarungan seperti lewat jalur politik, ikut dalam pemilihan caleg dan
beberapa orang Katobengke yang menduduki jabatan /Eselon pada pemeintahan Kota
Bau-bau.
Kesimpulan:
Menurut
saya dengan banyaknya stereotip yang disandangkan pada masyarakat Katobengke,
membuat mereka sadar akan diri mereka. Kekuasaan orang wolio atau kelompok
kaomu dan walaka atas stereotip orang Katobengke, telah menjadi sebuah motivasi
besar bagi kelompok Katobengke untuk
mereproduksi sebuah kekuasaan atau identitas baru untuk kelompok mereka
dan membuktikan bahwa tidak semua stereotip-stereotip untuk masyarakat
Katobengke sepenuhnya benar. Ini dibuktikan dengan adanya orang Katobengke yang
mampu menjadi anggota legislatif, mampu menduduki jabatan di pemerintahan, bisa menjadi guru dll.
Streotip-stereotip
itu juga berpengaruh pada proses interaksi sosial. Stereotip itu selanjutnya menentukan sikap masyarakat Katobengke.
Kemudian, stereotip itu menunjukkan dampaknya melalui sikap dari orang yang
ikut berinteraksi. Sikap itu selanjutnya dapat menimbulkan konfllik atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar