Kamis, 20 Oktober 2011

Pendahuluan A. Wilayah Polongbangkeng Polongbangkeng adalah sebuah wilayah dibawah Pemerintahan Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak dari ibu kota provinsi atau kota Makassar diperkirakan menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam atau sekitar 50 km. Bila melihat latar historis, wilayah Polongbangkeng merupakan wilayah kesatuan adat yakni terdiri dari empat kesatuan adat; Bajeng, Malewang, Pangkalang, dan Lassang. Pembentukan Polongbangkeng diperkirakan pada tahun 1816, dimana pada waktu Inggris meninggalkan Hindia Belanda. Pada waktu itu daerah Polongbangkeng terdiri dari Malewang, Moncongkomba, Bontokadatto, Lassang dan Lantang serta daerah dai gaukang perkampungan yakni Pattalassang, Sompu, Bilacaddi, Pasoleang, Salaka, Sabintang, Tamasongo, Sambila, Sayowang dan anaauang. Dari beberapa daerah ini polongbangkeng dipimpin oleh Tumalompona Polongbangkeng yakni Daeng Manompo. Bila melihat latar geografis, Polongbangkeng merupakan wilayah agraris dengan sebagian besar lahannya cocok untuk menanami berbagai tanaman. Wilayah Polongbangkeng merupakan wilayah perbukitan dan gunung-gunung yang relatif rendah. Beberapa tanaman yang dapat dan cocok ditanami di wilayah ini antara lain jagung, padi, kelapa sawit, gula dan sebagainya. Salah satu komoditi yang diunggulkan sekitar tahun 1980-an dan cukup berkembang yakni tanaman gula. Ketika itu, tanah-tanah yang ada hanya ditanami padi dan jagung oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perkembangan yang dapat terlihat dari tanaman gula yakni pendirian sebuah pabrik pengolahan gula di Polongbangkeng, tepatnya di Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar. B. Sejarah Berdirinya Pabrik Gula Takalar Dibentuk berdasarkan PP No. 19/1996, PT perkebunan Nusantara XIV adalah satu dari sekian Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang agribisnis. PTPN XIV merupakan penggabungan kebun-kebun proyek pengembangan PTP Sulawesi. Maluku dan NTT yaitu eks PTPVII, PTP XXVIII, PTP XXXII dan PT Bina Mulia Ternak . PTPN XIV memiliki 18 unit perkebunan dan 25 unit pabrik pengolahan dengan komoditi kelapa sawit, kelapa hiprida, kelapa nias , kopi, gula, pala, pada area konsesi seluas 55.425,25 ha. Khusus komoditi gula PTPN XIV kini mengelolah tiga pabrik gula yaitu PG Camming dan PG Araso di kabupaten bone dan PG takalar di kabupaten takalar dengan total area seluas 14.312 ha.dalam setrahun ketiga pabrik ini memproduksi 36.000 ton ataau memasok 1,33% komsumsi gula nasional yang mencapai 2, 7 juta ton. Pabrik Gula (PG) Takalar PTPN XIV beroperasi di Polongbangkeng sejak tahun 1982. Sebelumnya beropersi dengan nama PTP XXIV-XXV. PG Takalar PTPN XIV adalah peralihan dari PT Madu baru, yaitu sebuah perusahaan Hamengkubuwono yang sebelumnya telah berdiri dan membebaskan sebagian tanah petani sejak tahun 1978. Namun pada tahun 1980 PT Madu Baru mundur dari rencana pengolahan perkebunan tebu setelah terjerat kasus penyelewengan dana pembebasan tanah , sehingga digantikan oleh PTPN XIV berdasarkan SK Bupati Takalar tahun 1980. c. Metode Penelitian Prosedur yang digunakan dalam penelitian pabrik gula Takalar di desa Pa’rappunganta kecamatan Polongbangkeng Utara kabupaten Takalar ialah metode penelitian sejarah. Pengumpulan sumber diawali dengan studi pustaka, kemudian ditelusuri lebih lanjut pada beberapa dokumen pemerintah yang telah diterbitkan. Lebih lanjut diadakan pula pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dan wawancara dengan beberapa pelaku sejarah di kecamatan Polongbangkeng Utara (desa Pa’rampunganta dan PTPN sendiri). Selanjutnya bahan sumber diseleksi dan dianalisis sesuai dengan subyek penelitian. Terakhir, data tersebut diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan cerita sejarah yang imajinatif dan kritis sehingga peristiwa masa lalu terkesan ”hidup” kembali dalam ruang historiografi. Pembahasan A. Perekonomian Polongbangkeng Polongbangkeng dahulu hingga sekarang adalah wilayah yang strategis dari segi tanaman yaitu sangat cocok untuk ditanami berbagai jenis komoditi, diantaranya Padi, kelapa sawit, Jagung, Tapioka, dan Tebu. Di daerah ini, komoditi padi dan jagung lebih duluan ada untuk dikembangkan oleh masyarakat setempat. Barulah terhitung tahun 80-an tebu menjadi komoditi unggulan di Polongbangkeng untuk dikembangkan. Sekitar puluhan bahkan ratusan hektar lahan untuk padi dan jagung kemudian diganti dengan menanami tebu. Bagi masyarakat Polongbangkeng, tebu merupakan satu-satunya yang diharapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka. Kebutuhan itu diantaranya biaya makan sehari-hari, biaya sekolah, dan yang lebih penting untuk biaya mendirikan tempat tinggal mereka. Dengan melihat perkebunan tebu yang cukup berhasil, kemudian oleh pemerintah membangun sebuah pabrik gula di Takalar tepatnya di Polongbangkeng Utara. Pabrik ini dikelola oleh BUMN yang dikontrak oleh PTPN XIV (Persero) Pabrik Gula Takalar. Sementara karyawan yang bekerja di pabrik tersebut sebahagian besar berasal dari warga setempat. Akan tetapi, menurut tokoh masyarakat yang kami wawancarai mengatakan bahwa dulunya ada masyarakat yang tidak mau kerja di pabrik itu dengan alasan gengsi Karena gajinya yang sedikit disebutkan sekitar Rp.75. Sementara perkembangan pabrik ini cukup besar, mulai dari produksi hingga keuntungan yang diperoleh dari adanya tebu tersebut. Ketika itu, lagi-lagi menurut tokoh masyarakat menyatakan bahwa sekitar tahun 1981, produksi gula di Pabrik itu meningkat. Menurutnya dua Gudang dengan ukuran 100 x 60 meter dipenuhi oleh karung gula, bahkan kantor pun dijadikan tempat penyimpanan gula. Tetapi, sebelumnya berkaitan dengan lahan tebu yang digarap oleh pabrik gula yang sebelumnya digarap warga sebab lahan ini menurutnya merupakan milik Negara kemudian dikontrak oleh pihak pabrik. B. Kepemilikan Lahan/Tanah Reaksi petani atas pembangunan pabrik telah menunjukkan penolakan sejak PT. Madu Baru berdiri. Tidak adanya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat oleh dikeluarkannya izin sepihak pembagunan pabrik serta penetapan ganti rugi yang sangat tak sebangding yaitu 10/m2, adalah alasan penolakan petani. Bahkan pembebasan lahan berjalan penuh dengan manipulasi dan intimidasi. Pengrusakan dan pengambilan tanah secara paksa, pemukulan, penangkapan atas tuduhan kriminal, penembakan dan bahkan pembunuhan. Sebagai contoh pada November 1978 Lewa Dg. Rowa, seorang petani ditemukan tewas dengan kaki tergantung. Yang kasusnya tak pernah dusut sampai hari ini. Setelah peralihan PT Madu Baru ke PTPN XIV intimidasi masih terus berlanjut untuk mempercepat penguasaan lahan petani. Bahkan diperparah dengan mencap warga yang menolak pembebasan lahan sebagai PKI. Adalah makar setiap tindakan yang tak sejalan atas kebijakan pemerintah. Ini adalah pola standar di masa itu yang digunakan Negara untuk mematahkan perlawanan. Karaeng atau golongan keturunan bangsawan turut berperan dalam upaya pembebasan lahan. Di tengah masyarakat kelompok ini memiliki posisi dan wewenang lebih tiggi bahkan menempati jabatan dalam sruktur pemerintahan. Selain informan mereka juga mengelabui dan merepresi setiap bentuk penolakan petani. Atas SK Bupati Takalar tahun 1980 izin HGU diterbitkan selama 25 tahun bagi beropersinya pabri gula PTPN XIV . ditipu oleh status tanah dan jani bahwa petani akan kembali setelah masa HGU berakhir membuat warga terpaksa menandatangani perjanjian dab menerimah pembayaran ganti rugi atas tanah . ditambah posisi warga yang tersudutkan oleh intimidasi. Meski begitu sejumlah petani tak sedikit pun pernah mendapatkan ganti rugi. Lebih dari 6500 m² lahan dikuasai pabrik gula PTPN XIV , 4000 m² lahan tersebar di 12 desa di dua kecamatan yaitu Polongbangkeng Utara dan Polonbangkeng Selatan Kabupaten Takalar 2500 m² lahan tersebar di Gowa dan Jeneponto. Penguasaan lahan secara besar-besaran oleh korporasi Negara ini adalah penghilangan sumber kehidupan petani. MengeMengenai perjanjian 25 tahun yang selama inl


Pendahuluan
A.    Wilayah Polongbangkeng
                  Polongbangkeng adalah sebuah wilayah dibawah Pemerintahan Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Jarak dari ibu kota provinsi atau kota Makassar diperkirakan menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam atau sekitar 50 km. Bila melihat latar historis, wilayah Polongbangkeng merupakan wilayah kesatuan adat yakni terdiri dari empat kesatuan adat; Bajeng, Malewang, Pangkalang, dan Lassang. Pembentukan Polongbangkeng diperkirakan pada tahun 1816, dimana pada waktu Inggris meninggalkan Hindia Belanda. Pada waktu itu daerah Polongbangkeng terdiri dari Malewang, Moncongkomba, Bontokadatto, Lassang dan Lantang serta daerah dai gaukang perkampungan yakni Pattalassang, Sompu, Bilacaddi, Pasoleang, Salaka, Sabintang, Tamasongo, Sambila, Sayowang dan anaauang. Dari beberapa daerah ini polongbangkeng dipimpin oleh Tumalompona Polongbangkeng yakni Daeng Manompo.
                  Bila melihat latar geografis, Polongbangkeng merupakan wilayah agraris dengan sebagian besar lahannya cocok untuk menanami berbagai tanaman. Wilayah Polongbangkeng merupakan wilayah perbukitan dan gunung-gunung yang relatif rendah. Beberapa tanaman yang dapat dan cocok ditanami di wilayah ini antara lain jagung, padi, kelapa sawit, gula dan sebagainya. Salah satu komoditi yang diunggulkan sekitar tahun 1980-an dan cukup berkembang yakni tanaman gula. Ketika itu, tanah-tanah yang ada hanya ditanami padi dan jagung oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perkembangan yang dapat terlihat dari tanaman gula yakni pendirian sebuah pabrik pengolahan gula di Polongbangkeng, tepatnya di Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar.

B.     Sejarah Berdirinya Pabrik Gula Takalar
Dibentuk berdasarkan  PP No. 19/1996, PT perkebunan Nusantara XIV adalah satu dari sekian Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang agribisnis. PTPN XIV merupakan penggabungan kebun-kebun proyek pengembangan PTP Sulawesi. Maluku dan NTT yaitu eks PTPVII, PTP XXVIII, PTP XXXII dan PT Bina Mulia Ternak . PTPN XIV memiliki 18 unit perkebunan dan 25 unit pabrik pengolahan dengan komoditi kelapa sawit, kelapa hiprida, kelapa nias , kopi, gula, pala, pada area konsesi seluas 55.425,25 ha. Khusus komoditi gula PTPN XIV kini mengelolah tiga pabrik gula yaitu PG Camming dan PG Araso di kabupaten bone dan PG takalar di kabupaten takalar dengan total area seluas 14.312 ha.dalam setrahun ketiga pabrik ini memproduksi 36.000 ton ataau memasok 1,33% komsumsi gula nasional yang mencapai 2, 7 juta ton.
Pabrik Gula (PG) Takalar PTPN XIV beroperasi di Polongbangkeng sejak tahun 1982. Sebelumnya beropersi dengan nama PTP XXIV-XXV. PG Takalar PTPN XIV adalah peralihan dari PT  Madu  baru, yaitu sebuah perusahaan Hamengkubuwono yang sebelumnya telah berdiri dan membebaskan sebagian tanah petani sejak tahun 1978. Namun pada tahun 1980 PT Madu Baru mundur dari rencana pengolahan perkebunan tebu setelah terjerat kasus penyelewengan dana pembebasan tanah , sehingga digantikan oleh PTPN XIV berdasarkan SK Bupati Takalar tahun 1980.

c.       Metode Penelitian
Prosedur yang digunakan dalam penelitian pabrik gula Takalar di desa Pa’rappunganta kecamatan Polongbangkeng Utara kabupaten Takalar ialah metode penelitian sejarah. Pengumpulan sumber diawali dengan studi pustaka, kemudian ditelusuri lebih lanjut pada beberapa dokumen pemerintah yang telah diterbitkan. Lebih lanjut diadakan pula pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dan wawancara dengan beberapa pelaku sejarah di kecamatan Polongbangkeng Utara (desa Pa’rampunganta dan PTPN sendiri). Selanjutnya bahan sumber diseleksi dan dianalisis sesuai dengan subyek penelitian. Terakhir, data tersebut diramu sedemikian rupa sehingga menghasilkan cerita sejarah yang imajinatif dan kritis sehingga peristiwa masa lalu terkesan ”hidup” kembali dalam ruang historiografi.










Pembahasan
A.       Perekonomian Polongbangkeng
            Polongbangkeng dahulu hingga sekarang adalah wilayah yang strategis dari segi  tanaman yaitu sangat cocok untuk ditanami berbagai jenis komoditi, diantaranya Padi, kelapa sawit, Jagung, Tapioka, dan Tebu. Di daerah ini, komoditi padi dan jagung lebih duluan ada untuk dikembangkan oleh masyarakat setempat. Barulah terhitung tahun 80-an tebu menjadi komoditi unggulan di Polongbangkeng untuk dikembangkan. Sekitar puluhan bahkan ratusan hektar lahan untuk padi dan jagung kemudian diganti dengan menanami tebu.
            Bagi masyarakat Polongbangkeng, tebu merupakan satu-satunya yang diharapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka. Kebutuhan itu diantaranya biaya makan sehari-hari, biaya sekolah, dan yang lebih penting untuk biaya mendirikan tempat tinggal mereka.
            Dengan melihat perkebunan tebu yang cukup berhasil, kemudian oleh pemerintah membangun sebuah pabrik gula di Takalar tepatnya di Polongbangkeng Utara. Pabrik ini dikelola oleh BUMN yang dikontrak oleh PTPN XIV (Persero) Pabrik Gula Takalar. Sementara karyawan yang bekerja di pabrik tersebut sebahagian besar berasal dari warga setempat. Akan tetapi, menurut tokoh masyarakat yang kami wawancarai mengatakan bahwa dulunya ada masyarakat yang tidak mau kerja di pabrik itu dengan alasan gengsi Karena gajinya yang sedikit disebutkan sekitar Rp.75.
            Sementara perkembangan pabrik ini cukup besar, mulai dari produksi hingga keuntungan yang diperoleh dari adanya tebu tersebut. Ketika itu, lagi-lagi menurut tokoh masyarakat  menyatakan bahwa sekitar tahun 1981, produksi gula di Pabrik itu meningkat. Menurutnya dua Gudang dengan ukuran 100 x 60 meter dipenuhi oleh karung gula, bahkan kantor pun dijadikan tempat penyimpanan gula.
                  Tetapi, sebelumnya berkaitan dengan lahan tebu yang digarap oleh pabrik gula yang sebelumnya digarap warga sebab lahan ini menurutnya merupakan milik Negara kemudian dikontrak oleh pihak pabrik.




B.        Kepemilikan Lahan/Tanah
                  Reaksi petani atas pembangunan pabrik telah menunjukkan penolakan sejak PT. Madu Baru berdiri. Tidak adanya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat oleh dikeluarkannya izin sepihak pembagunan pabrik serta penetapan ganti rugi yang sangat tak sebangding yaitu 10/m2, adalah alasan penolakan petani. Bahkan pembebasan lahan berjalan penuh dengan manipulasi dan intimidasi. Pengrusakan dan pengambilan tanah secara paksa, pemukulan, penangkapan atas tuduhan kriminal, penembakan dan bahkan pembunuhan. Sebagai contoh pada November 1978 Lewa Dg. Rowa, seorang petani ditemukan tewas dengan kaki tergantung. Yang kasusnya tak pernah dusut sampai hari ini. Setelah peralihan PT Madu  Baru ke PTPN XIV intimidasi masih terus berlanjut untuk mempercepat penguasaan lahan petani.  Bahkan diperparah dengan mencap warga yang menolak pembebasan lahan sebagai PKI. Adalah makar setiap tindakan yang tak sejalan atas kebijakan pemerintah. Ini adalah pola standar di masa itu yang digunakan Negara untuk mematahkan perlawanan.
                  Karaeng atau golongan keturunan bangsawan turut berperan dalam upaya pembebasan lahan. Di tengah masyarakat kelompok ini memiliki posisi dan wewenang lebih tiggi bahkan menempati jabatan  dalam sruktur pemerintahan. Selain informan mereka juga mengelabui dan merepresi setiap bentuk penolakan petani. Atas SK Bupati Takalar tahun 1980 izin HGU diterbitkan selama 25 tahun bagi beropersinya pabri gula PTPN XIV . ditipu oleh status tanah dan jani bahwa petani akan kembali setelah masa HGU berakhir membuat warga terpaksa menandatangani perjanjian  dab menerimah pembayaran ganti rugi atas tanah . ditambah posisi warga yang tersudutkan oleh intimidasi. Meski begitu sejumlah petani tak sedikit pun pernah mendapatkan ganti rugi. Lebih dari 6500 m² lahan dikuasai pabrik gula PTPN XIV , 4000 m² lahan tersebar di 12 desa di dua  kecamatan yaitu Polongbangkeng Utara dan Polonbangkeng Selatan Kabupaten Takalar 2500 m² lahan tersebar di Gowa dan Jeneponto. Penguasaan lahan secara besar-besaran oleh korporasi Negara ini adalah penghilangan sumber kehidupan petani.
                  Mengenai kepemilikan tanah, selanjutnya menuai banyak masalah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hal ini dapat dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seorang Karaeng di wilayah Polongbangkeng. Salah satu warga mengutarakan bahwa dahulunya lahan tersebut sepenuhnya dimiliki oleh seorang Karaeng dengan posisinya sebagai penguasa saat itu. Saat itu Karaeng tersebut menjualnya kepada pihak Belanda untuk di olah menjadi lahan perkebunan dengan harga tak diketahui. Nah, sekarang menjadi perbincangan berbagai kalangan, bahwa lahan tersebut ada yang mengatakan adalah milik pemerintah. Hanya saja masyarakat setempat memanfaatkan untuk diolah sebagai lahan pertanian. Menurut salah satu pemerintah setempat ( Nurdin Tula S. Sos) Kepala Desa Pa’rappunganta, bahwa sebenarnya masyarakat dengan dalihnya menganggap bahwa tanah itu milik mereka, karena mereka telah mengolahnya puluhan tahun lamanya itu salah. Tanah tersebut adalah milik Pemerintah, hanya saja ada sebuah peraturan atau ketentuan yang telah ditetapkan, seperti ketika tanah itu dikelola oleh masyarakat selama 3 tahun, maka tanah itu miliknya. Namun, jika dalam waktu 3 tahun sipengolah meninggalkan lahan tersebut maka tanah itu milik pemerintah. Mengenai perjanjian 25 tahun yang selama ini dipermasalakan masyarakat itu hanya merupakan kesalah pahaman sebab tanah itu disewa dalam jangkah 25 tahun setelah 25 tahun tanah itu kembali ke Negara bukan ke masyrakat.
                  Lebih lanjut lagi, dengan kontrak 25 tahun oleh PG Takalar, maka masyarakat kembali menegaskan bahwa kontrak itu jika telah mencapai batas waktunya maka dikembalikan kepada masyarakat. Namun, lebih jauh ke belakang tanah itu menjadi persengkataan karena kesalahpahaman. Bukti pembebasan lahan pun menjadi tanda tanya besar. Oleh tokoh masyarakat setempat, menyatakan bahwa bukti pembebasan lahan itu ada, namun kalau masyarakat membandingkan jumlah pembebasan dahulu dengan sekarang itu mustahil. Karena dahulu uang masih susah didapatkan, sekiranya Rp.1 berbanding Rp 100.000,-. Nah kalau masyarakat setempat melihat bahwa pembebasan lahan tidak sepantas dengan jumlahnya maka yang timbul adalah masalah.









gambar

Foto(365).jpg
            (Gambar 1). Wawancara dengan Kepala Desa.

Foto(403).jpg

Ingatlah Sejarah...sebab sejarah itu mengungkap pesan-pesan perjuangan yang akan mendorong pembangunan bangsa kita Indonesia


Nama  : Widya Ningsih
NIM    : F811 08 257
Jurusan : Ilmu Sejarah
Tugas  : Peristwa-peristiwa penting di Indonesia Bagian Timur abad ke-20

A.     Konferensi Malino

Konferensi Malino adalah suatu konferensi yang diadakan pada tanggal 17-20 Juli 1946 di Kota Malino, Sulawesi Selatan, oleh pemerintah Belanda (NICA). Konferensi ini dihadiri oleh 39 orang dari 15 daerah dengan tujuan membahas rencana pembentukan negara-negara bagian yang berbentuk federasi di Indonesia serta rencana pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia bagian Timur.
B.    Pembebasan Irian Barat
Dalam melaksanakan atau perjuangan membebaskan wilayah Irian Barat, maka ditempuh dengan dua cara, yaitu;
1.       Perjuangan Diplomasi
a.      Upaya Perundingan dengan Belanda
Menurut ketentuan Konferensi Meja Bundar ( KMB ), masalah Irian Barat ditunda penyelesaiannya setahun kemudian. Oleh karena itu, pada waktu berlangsung upacara pengakuan kedaulatan, wilayah Irian barat tidak termasuk sebagai daerah RIS.
Berdasarkan keputusan KMB, semestinya pada akhir tahun 1950 sudah ada upaya Belanda untuk mengembalikan Irian Barat kepada pihak Indonesia. Akan tetapi, tampaknya keputusan KMB yang berkaitan dengan Irian Barat tidak berjalan lancar. Belanda tampak ingin tetap mempertahankan Irian Barat. Oleh karena itulah, Indonesia berusaha mengembalikan Irian Barat melalui upaya diplomasi dan berunding langsung dengan Belanda.
Beberapa kabinet pada masa demokrasi liberal juga memiliki program pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Setiap kabinet mencoba melakukan perundingan dengan Belanda. Perundingan itu misalnya pada masa Kabinet Natsir, Sukiman, Ali Sastroamidjojo dan Burhanuddin Harahap. Bahkan pada masa Kabinet Burhanudin Harahap diadakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Anak Agung dan Luns di Den Haag. Akan tetapiperundingan-perundingan itu tidak berhasil mengembalikan Irian Barat.
b.      Upaya Diplomasi melalui PBB
Sejak tahun 1953 usaha melalui forum PBB dilakukan oleh Indonesia. Masalah Irian barat setiap tahun selalu diusulkan untuk dibahas dalam Sidang Umum PBB. Sampai dengan Desember 1957, usaha malalui forum PBB itu juga tidak berhasil. Sebabnya dalam pemungutan suara, pendukung Indonesia tidak mancapai 2/3 jumlah suara di Sidang Umum PBB.
c.      Pembentukan Pemerintahan Sementara
Perjuangan pembebasan Irian Barat juga ditempuh melalui politik dalam negeri. Bertepatan dengan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke- 11, tanggal 17 Agustus 1956, Kabinet Ali Sastroamijoyo membentuk Pemerintahan Sementara Irian Barat. Tujuan pembentukan pemerintahan sementara dalam hal ini adalah pernyataan pembentukan Propinsi Irian Barat sebagai bagian dari RI.
Propinsi Irian Barat yang terbentuk itu meliputi wilayah Irian yang masih diduduki Belanda ditambah daerah Tidore, Oba, Patani dan Wasile di Maluku Utara. Pusat pemerintahan Propinsi Irian Barat berada di Soasiu, Tidore Maluku. Sebagai Gubernurnya Sultan Zaenal Abidin Syah ( Sultan Tidore ). Pelantikannya dilangsungkan tanggal 23 September 1956.
Akibat dari pembentukan pemerintahan sementara Propinsi Irian Barat, antara lain Belanda makin terdesak secara politis. Selain itu Belanda menyadari bahwa Irian barat merupakan bagian Indonesia yang berdaulat.
d.      Pemogokan dan Nasionalisasi Berbagai Perusahaan.
Selain melalui bidang politik usaha perjuangan untuk membebaskan Irian Barat, juga dilancarkan melalui bidang sosial ekonomi. Pada waktu perjuangan pengembalian Irian Barat melalui Sidang Umum PBB pada tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio menyatakan akan menempuh jalan lain. Jalan lain yang dimaksud Subandrio memang bukan senjata tetapi berupa konfrontasi ekonomi.
Tanggal 18 Nopember 1957 diadakan gerakan pembebasan Irian Barat dengan melakukan rapat umum di Jakarta. Rapat umum itu diikuti dengan pemogokan total oleh kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda pada tanggal 2 Desember 1957.
Setelah itu terjadilah serentetatn pengambilalihan ( nasionalisasi ) modal dan berbagai perusahaan milik Belanda. Pengambilalihan tersebut semula dilakukan spontan oleh rakyat. Akan tetapi, kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Beberapa contoh perusahaan yang diambilalih oleh Indonesia, antara lain :
a. Perbankan seperti Nederlance Handel Maat schappij (namanya kemudian menjadi Bank Dagang Negara).
b. Perkapalan .
c. Perusahaan Listrik Philips.
d. Beberapa perusahaan perkebunan.
Untuk meningkatkan gerakan dan memperkuat persatuan rakyat Indonesia tanggal 10 Februari 1958 permerintah membentuk Front Nasional Pembebasas Irian Barat
2.      Perjuangan dengan Konfrontasi Bersenjata
Secara politik Irian Barat belum berhasil,untuk itu Indonesia mencari alternatif lain, yakni perjuangan dengan konfrontasi bersenjata. Apa saja yang dimaksud dengan perjuangan bersenjata itu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat menelaah uraian berikut ini.
a.       Perjuangan Melalui Trikora
Berbagai cara dan usaha Indonesia untuk membebaskan Irian Barat belum menunjukan hasil yang nyata. Belanda makin bersikap keras dan tidak mau mengalah. Bahkan, Belanda kemudian menyatakan bahwa Irian Barat merupakan wilayah Belanda sebagai bagian dari Nederlands. Oleh belanda, Irian Barat disebut dengan Nederlans-Nieuw Gunea. Menghadapai kenyataan bahwa berbagai cara yang ditempuh belum berhasil maka Indonesia maningkatkan konfrontasi di segala bidang. Tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Perjuangan pembebesan Irian Barat selanjutnya diarahkan dengan cara militer.Untuk menghadapi komfrontasi, pemerintahan melakukan perjanjian pembelian senjata dari luar negeri, seperti dengan Uni soviet. Selain itu, Indonesia juga mencari dukungan dengan negara-negara lain.
Melihat aksi Indonesia,Belanda tidak tinggal diam, Bulan April 1961 Belanda membentuk Dewan Papua. Dewan ini akan menyelenggarakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat. Bahkan lebih lanjut, Belanda menunjukkan keberanian dan kekuatannya dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Membentuk Negara Boneka Papua dengan lagu dan bendera Papua.
b. Mendatangkan bantuan dan mengirimkan pasukan dengan kapal perangnya ke perairan Irian, antara lain kapal Karel Doorman.
c. memperkuat angkatan perang Belanda di Irian Barat.
Dengan kenyataan itu, perjuangan pembebasan Irian Barat secara militer tampaknya tidak mungkin dihindarkan.
Tanggal 19 Desember 1961 melalui rapat umum di Yogyakarta, Presiden Soekarno Mencanangkan TRIKORA (Tri Komanda Rakayat),dan berikut isi TRIKORA :
a. Gagalkan pembentukan Negara papua
b. Kibarkan Sang merah putih di Irian Barat.
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah air.
b.      Operasi Militer dibawah Komando Mandala Sebagai tindak lanjut program TRIKORA, Presiden Soekarno membentuk Mandala pembebasan Irian Barat. Yang dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 yang dipimpin oleh Mayor Jendral Suharto. Pusat dari komanda mandala berada di Ujungpandang untuk melaksanakan Trikora. Untuk melaksanakan tugas itu, Komando Mandala melakuakan langkah-langkah berikut:
a. merencanakan,mempersiapkan dan melaksanakn operasi militer
b. mengembangkan situasi militer di wilayah Provinsi Irian Barat
Dalam rangka mempersiapkan operasi militer. Komando Mandala telah tahapan perjuangan.Pada bulan Maret sampai Agustus 1962 telah dimulai pendaratan pasukan ABRI dan sukarelawan dari laut & udara,dengan mendaratkan pasukan ditempatnya,misalnya:
a. Operasi Banteng di Fak-Fak Dan Kaimana
b. Operasi Srigala di Sorong dan Teminabiuan
c. Operasi Naga di Merauke
d. Operasi Jatayu di Sorong,Kaimana,dan Merauke
Pada tahapan persiapan dan infiltrasi telah terjadi insiden pertempuran di Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962.Pada waktu itu kapal RI motor terpedo boat Macan Tutul yang sedang patroli diserang oleh Belanda.Terjadilah pertempuran akan tetapi kapal RI Macan Tutul terbakar dan tenggelam. Dalam insiden ini meniggalah Komodor Yos Sudarso dan Kapten Laut Wiratno Gerakan infiltrasi terus dilakukan.Pasukan mulai mendarat dan menguasai beberapa daerah di Irian Barat. Berikut para sukarelawan dan sukarelawati. Bendera merah putih mulai dipancangkan di berbagai daerah. 
c.       Rencana Bunker
Melihat pasukan Indonesia itu, Belanda mulai khawatir dan kewalahan. Dunia Internasional mangetahui dan mulai khawatir Amerika serikat mulai menekan Belanda agar mau beruding. Ellswoth Bunker, seorang diplomat AS ditunjuk sebagai penengah. Bunker selanjutnya mengusulka pokok-pokok penyalsaia masalah Irian Barat secara damai. Poko-poko usulan Bunker itu,antara lain berisi sebagai berikut.
a. Belanda akan menyarahkan Irian Barat kepada Idonesia melalui badan PBB, yAkni UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
b. Pemberian hak bagi rakyat Irian Barat untuk menetukan pendapat tentang kedudukan Irian Barat. Pokok tersebut dikenal dengan Rencana Bunker. Berdasarkan Rencana tersebut maka pada tanggal 15 Agustus 1962 tercapailah persetujuan antara indonesia dan belanda yang dikenal dengan Persetujuan New York. Adapun isi Perjanjian New York, antara lain:
a. Belanda harus sudah menyerahkan Irian Barat kepada UNTEA selambat-selambatnya 1 Oktober 1962. Bendera Belanda diganti dengan bendera PBB
b. Pasukan Yang sudah ada di Irian Barat tetap tinggal di Irian Barat dan dibawah kekuasaan UNTEA
c. Angkatan perang Belanda berangsur-angsur ditarik dan dikembalikan ke negeri Belanda.
d. Bendera Indonesia malai berkibar di Irian Barat disamping bendera PBB sejak tanggal 31 Desember 1962
e. Pemerintah RI akan menerima pemerintahan Irian Barat dari UNTEA selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963
d.  Akhir Konfrontasi Irian Barat Dan Papua
Setelah perundingan di New York,datanglah pemerintah untuk tembak-menembak antara kedua pihak.Dengan demikian Operasi Jayawijwya batal dilancarkan. Sebagai pelaksanaan isi perjanjian new york secara resmi belanda menyerahkan irian baratkepada UNTEA. Pada tanggal 1 mei 1963 PBB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Penyerahan Itu dengan syarat pemerintah Indonesia mengadakan pungutan pendapat rakyat. Dengan damikian, Berakhiralah kekuasaan Belanda di Indonesia.Dan kemudian Irian Barat diganti menjadi menjadi Irian Jaya dan bergabung dengan Republik Indonesia
C.    Gerakan DI/TII Kahar Muzakar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

D.    Konflik di Maluku
a.      Latar Belakang
Sejak abad ke-17 VOC telah mengambil kebijakan yang memisahkan antara penduduk yang beragama islam dan kristen,oleh karena itu ada pemukiman orang-orang kristen. Kecuali Kota Ambon dan beberapa daerah di orang k4isten. kecuali ambon dan beberapa daerah di kotamadya Ambon ada Penduduknya yang beragama islam dan juga beragama kristen.
akaebijakan pemisahan ini ternyata juga berakibat pada kehidupan yang lain. Salah satu bidang yang penting adalah bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan ini terkait dengan kegiatan gereja dan pengembangan ajaran krinten. tentunya hal ini tidak dapat diikuti oleh penduduk muslim. mulai abad ke-18 sudah ada beberapa sekolah yang diasauh oleh gugu-gugu lokal. kegiatan pendidikan makain berkembang. orang-orang kristen menjadi kelompok terpelajar, sedang umat Islam makin tertinggal. Orang-orang Kristen umumnya menjadi pegawai pemerintah. Kedudukan ini makin memperkuat orang Kristen baik secara sosial maupun ekonomi. perubahan terjadi mulai masa kemerdekaan dan terutama masa orde baru. Dengan berkembangnya perkebunan, pertambangan dan indrustri kehutanan yang tersebar di Maluku telah mengangkat kondisi perekonomian orang-orang Islam. Mereka umumnya hidup dengan berdagang. Kebijakan Belanda yang kemudian melahirkan dua kelompok sosial ini tentu tidak menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. hal itu disebabkan sewaktu-waktu kondisi tersebut dapat menimbulkan konflik.
b.      Munculnya konflik
Konflik dimaluku terjadi beberapa kali atau tahapan, yaitu:
1)      Tahap pertama
Pada tanggal 19 janjuari 1999 telah terjadi pertikaian antara seorang sopir angkot dengan dengan preman di terminal batu merah. p[eristiwa meluas menjadi konflik antara kelompok islam dan kristen. keesokan harinya tidak diketahui sebabnya terjadi tabrakan di berbagai sudut kota ambon. konsentrasi masa terjadi. kelompok Kristen berkumpul di gereja, terutama di gereja maranatha. Sementara itu, kelompok Islam berkumpul di masjid, terutama al Fatah. orang- orang kristen memakai ikat kepala berwarna merah, dan orang islam berwarna putih. pasar orang berdagang orang makasar,bugis, dan buton diserang dan dibakar. senjata yang digunakan tahap pertama ini adla senjata trasisional, (parang dan tombak).
2)      Tahap kedua
Konflik ini terjadi tanggal 24 juli 1999. pada hari itu sejumlah pusat perekonomian di jl. aj. patty dibakar. Keduanya sudah menggunakan senjata api rakitan. dan suasana makin mengecam. dan ini meluas ke pulau Seram. pada tanggal 18-19 agustus 1999 sejumlah negeri Islam menyerang negeri Piru yang mayoritas penduduknya Kristen. konflikbesar-besaran terjadi di Ambon pada tanggal 26-30 november 1999. Pada tanggal 12 desember 1999 presidan Abdurahman Wahid dan wakil presiden megawati berkunjung ke Ambon untuk menenangkan masyarakat menjelang hari raya umat islam dan umat Kristen. Dem,ikian konflik terjadi beberapa kali, ketiga dan keempat. tentu ini mengganggu stabilitas nasional.
E.     Kerusuhan di Poso
Konflik juga terjadi di poso. dan berkembang menjadi konflik etnis dan agama. Struktur sosial masyarakat poso yang plural dangat rawan konflik. penduduk kabupaten poso terdapat 2 kelompok, yakni kelompok suku asli dan pendatang. kelompok suku asli terdiri 2 kelompok.
a. kelompok yang turuntemurun lahir dan dibesarkan di poso. yakni suku pamora.
b. orang sulawesi tapi leluhurnya dari poso. yakni suku akaili dan mori.
kelompok pendatang terdiri atas orang bugis, makasar ( mayoritas ) dan para trasmigran dari jawa dan nusa tenggara. buto muna, dan toraja.
dilihat dari sudut agamanya,kelompok tersebut dapat dibedakan islam dan kristen.islam dianut duku kaili, bugis,makasar, dan buton.dan kristen oleh suku pamora, mori ( Toraja ). dan transmigran menganut agama yang berbeda yaitu islam,kristen,dan hindu. dengan demikian diposo terdapat 2 kelompok besar yakni Islam dan Kristen.
Kerusuhan di poso sebenarnya udah selesai pada akhir desember 1998. yang dipicu oleh sentimen agama. yang bermula dari penyerangan sekelompok pemuda krlsten terhadap beberapa remaja yang tengah menunggu waktu sahur. dan terjadilah konflik tersebut. dalam konflik ini juga ditunggangi oleh kepentingan politik, yakni dengan isu pemilihan bupati setempat. dan masyarakat poso menjadi tidak kondusif.
ketegangan terus menyelimuti masyarakat poso. bulan april itahun 2000 juga terjadi kerusuhan yang sama. berawal dari perkelahia antar 2 agama bahkan pernah dilaporka oleh harian republika bahka ratusan santri dari pendopo pesantren walisongo didesa togolu, kecamatan lage, poso lenyap. diduga juga ada kaitanya dengan konflik ini yang sedang terjadi.  

Senin, 17 Oktober 2011

Ajattappareng, sejarah lokal Sulawesi Selatan



Sejarah terbentuknya persekutuan Ajatappareng
Ajatappareng salah satu  kampung di Suppa. Kerajaan-kerajaan yang tergabung antara lain kerajaan Suppa, kerajaan Sidenreng, kerajaan Rappang, kerajaan Sawitto, kerajaan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar yakni kerajaan Luwu, kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Dalam persaingan ini kerajaan Gowa akhirnya berhasil menjadikan persekutuan lima Ajatappareng di bawah perlindungannya.
1.1 Kerajaan Sidenreng
Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang adalah kerajaan kembar yang diperintah oleh 2 orang Raja, kakak beradik, oleh karena tidak ada batas yang tegas yang memisahkan kedua wilayah kerajaan tersebut. Lontaraq hanya menggambarkan bahwa penduduk Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang hanya dapat dibedakan pada waktu panen. Yang menyangkut padinya ke utara, itulah rakyat Kerajaan Rappang, sedangkan yang menyangkut padinya ke selatan itulah rakyat Kerajaan Sidenreng. Selain itu, kedua rajanya juga membuat ikrar, yaitu Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. Yang berarti Mati Pagi Rappang, mati sore Sidenreng. Mati sore Rappang, Mati Pagi Sidenreng.
Di abad XIV kerajaan Sidenreng merupakan kerajaan Bugis yang cukup disegani di Sulawesi Selatan, disamping Kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, dan  Wajo. Berbagai literatur yang ada menyebutkan eksitensi kerajaan ini turut memberi warna dalam percaturan politik dan ekonomi kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Sidenreng merupakan salah satu Kerajaan yang ramai dan terkenal hingga ke benua lain, yang berpusat di sekitar danau besar (Tappareng Karaja) yang dapat dilayari dan dikelilingi tempat-tempat pemukiman. Manuel Pinto, seorang berkebangsaan Portugis malah sempat menetap selama delapan bulan menetap di Kerajaan Sidenreng. Pinto menggambarkan Sidenreng sebagai sebuah negeri yang ramai.
Ada versi yang menyakini bahwa asal usul raja berasal dari langit yang dikirim ke bumi oleh Dewata Seuwae, karena itu disebut Manurungnge. Menurut versi ini , Addowang Sidenrengpertama adalah Manurungnge ri Bulu Lowa. Setelah mangkat ia digantikan oleh anaknya Sukkung Mpulaweng yang kemudian kawin dengan Pawawoi Arung Bacukiki, putri labanggenge, Manurungnge ri Bacukiki dari perkawinannya dengan Arung Rappang, We Tipu Linge. We Tipu juga diyakini seorang yang muncul di Lawarampang.  Ada versi yang mengatakan bahwa Kerajaan Sidenreng berasal dari Tomanurung, seperti halnya mitos raja-raja yang memerintah di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam versi lain, asal mula Sidenreng berasal dari sebuah kelompok dari Sangalla, Tana Toraja, yang meninggalkan daerahnya akibat kezaliman Rajanya, La Maddaremmeng, yang tidak lain adalah saudara dari mereka sendiri. Rombongan tersebut dipimpin oleh 8 bersaudara yang terdiri dari; La Wewangriu, La Togelipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mappasessu dan La Mappatunru. Menilik dari nama-nama mereka tersebut yang tidak bercirikan nama Toraja, maka diduga mereka itu bukanlah penduduk asli Sangalla (Toraja), melainkan mungkin berasal dari Kerajaan Luwu. Hal ini diperkuat oleh sebuah sumber yang mengatakan bahwa Sangalla pada zaman dahulu pernah berada dibawah Payung Kerajaan Luwu. Pemberian nama Sidenreng adalah untuk memperingati awal mula kedatangan mereka ditempat itu pada saat berbimbingan tangan mendatangi danau untuk mandi dan mengambil air. Tempat itu sekarang disebut Kampung Sidenreng. Namun daerah batu itu disebut sebagai Tanae Aja Tappareng oleh orang Wajo, Soppeng dan Bone. Dimana Tanae Aja Tappareng berarti daerah yang berada di sebelah barat danau, yang sekarang dikenal dengan nama Danau Sidenreng. Kemudian di daerah Aja Tappareng ini terbentuk 5 kerajaan, yaitu Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini yang sesungguhnya disebut Lima Aja Tappareng.
1.2 Kerajaan Sawitto
 Wilayah Pinrang sebelum abad ke-20 adalah sebuah wilayah kerajaan bernama Kerajaan Sawitto. Kerajaan ini membawahi kerajaan-kerajaan kecil, seperti kerajaan Batulappa, Kassa, Suppa, Alitta, Sidenreng, Rappang.Kerajaan-kerajaan ini, merupakan sebuah satu kesatuan kerajaan yang disebut "Lima Ajattappareng". Lima Ajattappareng, merupakan sebuah persekutan perjanjian yang disepakati oleh 5 raja dalam suatu pertemuan yang berlangsung di Suppa pada abad ke-15, meliputi kerajaan Sawitto, Suppa, Sidenreng, Rapang, dan Alitta.  Kemudian ikut bergabung kerajaan Batu Lappa dan kerajaan Kassa yang merupakan kelompok persekutuan Massenreng Pulu. Kerajaan Sawitto mencapai kemasyurannya pada abad ke-15, ketika Kerajaan Sawitto dipimpin oleh La Paleteang, raja ke-14 Sawitto.Wilayah Kerajaan Sawitto pada masa pemerintahan La Paleteang merupakan sebuah wilayah yang subur dan makmur. Wilayah ini memiliki hamparan tanah datar dengan bentangan pesisir laut yang seakan tak bertepi. Namun kemasyuran Kerajaan Sawitto itu, membuat Raja Gowa cemburu dan berniat menguasai Wilayah Kerajaan Sawitto. Kerajaan Sawitto merupakan yang kondisi dan potensinya menjanjikan setumpuk harapan itulah sebabnya terjadi peperangan antara kerajaan Sawitto dan kerajaan Gowa, sebagai kerajaan yang besar kerajaan Gowa berusaha menguasai kerajaan Sawitto.Berbagai upaya yang telah digunakan Gowa untuk menguasai Sawitto melalui agresi dan terjadilah perang antara Sawitto dan kerajaan Gowa. Prajurit-prajurit Sawitto dengan gigih mengadakan perlawanan abdi kerajaan mati-matian mempertahankan dan membela bumi Tahun 1540 terjadilah penyerbuan besar-besaran yang dilakukan balatentara kerajaan Gowa. Perang pun tak terhindarkan lagi, bala tentara kerajaan Gowa dengan jumlah pasukan yang sangat besar menyerbu pasukan Kerajaan Sawitto. Kerajaan Sawitto menolak tawaran Raja Gowa yang pada saat itu merupakan sebuah kerajaan besar dan kuat, agar Raja La Paleteang mau tunduk. Namun Raja La Paleteang menolak wilayah kerajaan Sawitto sebagai bagian dari kerajaan Gowa.
Peperangan ini menimbulkan korban jiwa kedua belah Pihak. Pasukan kerajaan Sawitto dengan jumlah tentara kerajaan yang sedikit jumlahnya dibandingkan pasukan kerajaan Gowa. Bertembur habis-habisan, Akhirnya, dengan kekuatan personil yang sedikit itu, Pasukan kerajaan Sawitto kalah, dan pasukan kerajaan Gowa berhasil membawa La Paleteang dan istrinya ke Kerajaan Gowa sebagai tawanan. Tertawannya Raja Sawitto, La Paleteang tidak berarti wilayah kerajaan Sawitto diambil alih kerajaan Gowa. Namun akhirnya, raja La Paleteang dan istrinya berhasil dibawa kembali ke tanah Sawitto. Setelah memasuki abad ke-20, ketika Belanda mulai mencampuri urusan rumah tangga kerajaan, maka kerajaan Sawitto telah menjadi pusat pertahanan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Bone, Gowa, Wajo dan Soppeng.
Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan daripamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang
Kegemaran menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.
Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permian tersebut.
La sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya. La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya
La Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone. Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal. Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”
1.3   Kerajaan Rappang
Kerajaan Rappang disebutkan sebagai kerajaan yang menguasai daerah hilir sungai Saddang di abad 15 M. Bersama dengan Sidenreng, Sawitto, Alitta, Suppa, dan Bacukiki, Mereka membentuk persekutuan Ajatappareng untuk membendung dominasi Luwu. Persekutuan ini kemudian diikatkan dalam perkawinan antar keluargaraja-rajamereka. Adapun Rappang berasal dari kata Rappeng, dalam bahasa Bugis, Rappeng berarti dahan/ranting yang hanyut. Dimana pada zaman dahulu, sungai yang mengalir di Rappang mempunyai lebar yang besar dan pada bagian hulunya banyak terdapat hutan belukar yang lebat. Dan apabila musim hujan telah tiba, maka dahan dari pohon-pohon itu hanyut dan membentuk daratan, menjadi tempat pemukiman dan kemudian diberi nama Rappang.


Susunan Nama – nama Raja Kerajaan Rappang :
1. We Tipu Uleng, Arung Rappang I, saudara kandung La Mallibureng
(Addaowang Sidenreng II)
.
2. We Pawowoi, Arung Rappang II, putri We Tipulinge (Addaowang IV Sidenreng)
3. La Makkarawi, Arung Rapp
ang III, anak La Pute Bulu Datu Suppa
4. Songkokpulawengnge, Arung Rapp
ang IV, anak Manurungnge ri Lowa
(Addaowang II
  Sidenreng)
5. We Cinang, Arung Rappang V
6. La Pasampoi, Arung Rappang VI, putra La Batara (Addaowang VI Sidenreng)
7. Pancaitana, Arung Rapp
ang VII, anak dari Lampe Welua Datu Suppa VI
8. La Pakolongi, Arung Rapp
ang VIII, anak dari Pancaitana.
Raja inilah yang pertama memeluk Islam, Tahun 1607/1608 M
9. We Dangkau, Arung Rappeng IX, putra dari La Pakolongi
10. Tonee, Arung Rappeng X
11. We Tasi, Arung Rappeng XI, putra dari Tonee
12. Todani, Arung Rappeng XII, anak dari we Tasi dengan La Bila Datu Citta
13. La Tenri Tatta, Arung Rappeng XIII, menantu Todani
14. La Toware, Arung Rappeng XIV, anak dari La Tenri Tatta
15. We Tenri Paonang, Arung Rappeng XV, anak dari La Cella Datu Bongngo Arung Rappeng dengan I Sompa Arung Rappeng I
16. La Pabittei, Arung Rappeng XVI, anak dari I Tenri Paonang
dengan La Kasi Ponggawae ri Bone
17. I Madditana, Arung Rappeng XVII, putri dari La Pabittei.
18. I Bangki, Arung Rappeng XVIII, putri dari I Madditana dengan La Makkulawu Arung Gilireng.
19. La Panguriseng, Arung Rappeng XIX, anak dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge, Arung Malolo Sidenreng 20. La Sadapotto, Arung Rappeng XX merangkap Addatuang Sidenreng XII.Raja inilah yang menandatangani Korteverklaring (pernyataan pendek) dengan Belanda setelah mengalami kekalahan perang pada Tahun 1906 M
21. I Tenri Fatimah, Arung Rappeng XXI, merangkap Addatuang Sawitto,
sebagai Arung Rappeng terakhir, anak dari La Sadapotto
. Dalam prosesi pengangkatan dan pemberhentian Arung Rappeng, terdapat sebuah lembaga adat yang bernama Pampawa Ade (pemangku adat) yang berfungsi memilih dan mengangkat Arung Rappeng. Dimana Pampawa Ade (pemangku adat) menggunakan sistem perwakilan calon dan diutamakan berasal dari keturunan Arung Rappeng. Namun jika tidak ada atau tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan adat, yaitu;
 1. Melempui Namatette, yaitu jujur dan tidak plin-plan
2. Makurangngi Cai-na, yaitu tidak pemarah atau lalim
3. Magettengngi ri ada-adanna, yaitu tegas dalam mengambil keputusan
4. Makurang Pauwi ri Ada-ada Temmaggunae, yaitu tidak senang mengumbar
kata-kata yang kurang bermanfaat atau hati-hati dalam ucapan
5. Waranipi Linuri Ada-adanna, yaitu berani dan konsekuen dalam tindakan dan ucapan.

Maka Pampawa Ade (pemangku adat) boleh mencari calon lain diluar Rappang atau Sidenreng. Dengan demikian Arung Rappeng tidak harus berasal dari keturunannya. Dalam lontaraq ditegaskan bahwa Imana Mua Tenri Appamanareng, yang maksudnya jabatan raja bisa diwarisi, tetapi tidak diwariskan. Adapun sistem pemerintahan Kerajaan Rappang adalah sebagai berikut :
1. Arung Rappeng, sebagai pimpinan tertinggi yang melaksanakan pemerintahan kerajaan
berdasarkan mandat dari rakyat. Dalam lontaraq ditulis
Assamaiyako Muabbulo Sipeppa Mupaenrekengnga Inanre Manasu, yang artinya :
Bermusyawarahlah dan bermufakatlah, kemudian apa yang engkau
(pemangku adat & rakyat)
putuskan itulah yang saya (raja) jalankan.
2. Sulewatang, yang secara harfiah berarti Pengganti Diri, tugasnya melaksanakan
pemerintahan sehari-hari dan bertanggung jawab kepada Arung Rappeng
3. Pabbicara, sebagai lembaga yang membantu raja dalam mengambil keputusan,
terutama jika timbul masalah-masalah, baik menyangkut pemerintahan maupun kemasyarakatan. Pabbicara juga menjadi koordinator Pampawa Ade (pemangku adat)
4. Kerajaan-kerajaan lokal, disamping sebagai kepala wilayah, juga mewakili daerahnya sebagai Pampawa Ade (pemangku adat).
Ada 4 (empat) kerajaan lokal atau Pampawa Ade, yaitu :
a. Arung Lelebata
b. Arung Benteng
c. Arung Passeno
d. Arung Kulo

Kerajaan-kerajaan ini mempunyai otonomi, dalam lontaraq disebut Napoade-adena, Tenri Cellengi Bicaranna, yang berarti adatnya yang berlaku dan tidak diintervensi keputusannya. Setelah masuknya Pemerintah Kolonial Belanda pada Tahun 1905 di Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang, maka pengangkatan pejabat-pejabat penting harus direstui oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan kondisi ini, maka berangsur pula kekuasaan kerajaan dan diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda.
1.4 Kerajaan Suppa dan Kerajaan Alitta
Dari tulisan C. Pelras dijelaskan bahwa sejumlah penguasa kerajaan di Sulawesi_Selatan pada abad ke XVI, pernah dibaptis masuk agama Katholik. Diantaranya Kerajaan Suppa, Alitta, Siang (Pangkajenne) , Bacukiki, Tallo, Gowa. Penyebaran agama Katholik di Sulawesi-Selatan ketika itu bersamaan dengan kedatangan bangsa-bangsa asing, terutama Portugis. Jalur kedatangan bangsa Portugis pertama kali dari Malaka menuju ke daerah Ajatappareng dan Suppa, dari Ajatappareng ke Siang ( Pangkajenne) . Yang agak aneh, peyebaran agama ini ke Gowa, melalui jalur lain, yakni dari Ternate pada tahun yang lebih awal ( 1539), sementara ke Ajattapareng, Suppa dan siang, barulah l534, beberapa tahun kemudian. Menurut Pelras, usaha kristenisasi raja-raja ini dimulai dengan kedatangan seorang pedagang Portugis yang Antonio de Paiva yang tertarik pada kekayaan daerah Indonesia Timur, khususnya kayu cendana. Mula-mula Antonio datang ke Siang dalam perjalanan ke daerah Sulawesi Tengah, kemudian singgah di Suppa. Pada kesempatan itulah Antonio membaptis penguasa di Suppa dan Siang ( ternyata kedua penguasa kerajaan itu bersahbat) . Itupun tidak dengan mudah, karena menurut C.Pelras, didahului perdebatan teologis yang hangat. Tidak disebut siapa penguasa Suppa yang dibaptis, kronik mengenai hal ini hanya dibaca dalam laporan Antonio de Paiva yang meminta maaf kepada Uskup Goa ( India ), karena ia telah membaptis dua penguasa tanpa penugasan resmi. Di kisahkan, ketika Antonio de Paiva kembali ke Malaka, ikut serta utusan dari kedua penguasa ke Malaka untuk meminta Gubernur Malaka mengirimkan pendeta ke Suppa dan Siang dan jika mungkin bantuan militer. Bahkan ikut pula serta dua putra penguasa dari Suppa. Kedua pemuda itu, kemudian dibawah ke Eropa. Beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, mendengar permintaan kedua penguasa di Sulawesi-Selatan itu, misionaris Khatolik yang terkenal Francisco Xavier berangkat ke Malaka dan dari sana ia akan melanjutkan perjalanan ke Suppa. Kedatangan missionaries ini kemudian batal, karena di terjadi perang antara Wajo dan Sidenreng . Sidenreng bersekutu dengan Suppa dan Siang, Francisco Xavier mungkin tidak mau mengambil resiko terjebak dalam kancah peperangan antarpara penguasa tersebut. Mendahului kedatangan Fansisco Xavier, sudah datang pendeta Vicente Viegas dari Malaka, dialah yang membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki. Pertalian agama antarpenguasa Suppa,Siang, Alitta dan Bacukiki dengan Portugis akan berlanjut, jika tidak terjadi peristiwa seorang perwira Portugis membawa lari seorang putri penguasa Suppa. Penguasa Suppa murka, supaya tidak terjadi pertumpahan darah, orang-orang Portugis buru-buru meninggalkan Suppa dan membawa putri penguasa Suppa tersebut ke kapal. Anak blasteran putri penguasa Suppa dengan perwira Portugis itu kemudian lahir dan bernama Manuel Godinho de`Eredia, ibunya juga diberi nama Donna Ele’na Vesiva ( konon keturunan Raja Suppa dan Raja Bacukiki). Manuel Godinho menjadi seorang pintar, ia menjadi penulis dan akhli geografi. Dialah yang pertama kali menyebut adanya pulau di sebelah selatan Timor yang kemudian dikenal sebagai Australia . Hanya seorang anggota ekspedisi Portugis bernama Manuel Pinto yang tidak ikut . Tetapi dia meninggalkan Suppa menuju Siang, Tallo, Sidenreng. Pinto inilah yang menulis laporan ke Uskup Goa ( India ) bahwa raja-raja tersebut sebenarnya sangat ingin bersekutu dengan Portugis.
Kegagalan kristenisasi penguasa Sulawesi-Selatan ini, tidak disebutkan secara jelas. Hanya.Pelras melukiskan bahwa kemungkinan missionaries itu pesimis akan merubah watak dan kepercayaan dasar penguasa di Sulawesi-Selatan itu. Misalnya, tidak mungkin menggantikan peranan Bissu dengan Pendeta Katholik jika mereka memilih menetap sebagai pemimpin agama. Alasan teknis, karena kurangnya tersedia pendeta di Malaka . Tahun l584 pernah dikirim empat pendeta ke Makassar , tetapi tidak bertahan lama. Kemungkinan lain, agama Katholik terdesak dengan masuknya agama Islam di Sulawesi-Selatan melalui ulama dari Melayu. Agama ini kemudian dianut dengan fanatik oleh penguasa di Gowa dan sekaligus sebagai kerajaan yang sangat kuat sebelum ditaklukkan Belanda melalui pembatasan dalam Perjanjian Bongaya 1667. Jelas bahwa penguasa-penguasa di Suppa, Alitta dan Sidenreng saat itu, bukanlah penguasa setelah kerajaan Gowa menjadi kerajaan Islam yang adidaya di Sulawesi -Selatan. Karena setelah itu, penguasa-penguasa lokal di Suppa, Alitta, Sidenreng diambil dari keluarga dekat raja-raja Gowa.
by: Widya Ningsih,,mahasiswa Sejarah Universitas Hasanuddin