Rabu, 28 Januari 2015

ORGANISASI LOKAL



Organisasi Lokal

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Dari Sabang sampai Marauke tentunya  dari berbagai macam suku bangsa itu, disetiap masyarakatnya ada sebuah organisasi lokal. Didalam oraganisasi lokal itu terdapat sebuah norma yang menjadi landasan apakah boleh atau tidak boleh sesuatu itu dilakukan. Dengan adanya norma dalam setiap komunitas sosial tentunya akan ada kontrol sosial sebagai akibat atau sanksi untuk norma-norma yang dilanggar.
Telah diketahui bahwa bangsa Indoesia terdiri dari beberapa kepercayaan yang hingga kini masih dipertahankan ditengah-tengah zaman modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terkhusus di Sulawesi Selatan ada dua Masyarakat kecil yang masih mempertahankan kepercayaanya antara lain:
1.      Masyarakat penganut kepercayaan Tolotang di Amparita Kabupaten Sidrap
2.      Masyarakat penganut kepercayaan Ammatoa  Kajang  di kabupaten Bulukumba.
Kedua penganut kepercayaan tersebut diatas tentu saja memiliki suatu ciri khas, dalam kehidupan sosial budayanya. Ciri khas tersebut merupakan pembeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Di masyarakat kajang tentunya ada norma-norma khusus yang dianut dan harus ditaati. Seperti ketika kita ingin berkunjung ke Kajang, kita harus mengenakan pakaian hitam dan tidak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan dengan kata lain kita harus berjalan kaki untuk masuk dikawasan adat Kajang. Langka pertama yang harus dilakukan jika tiba di kawasan adat kajang adalah meminta izin pada  pimpinan Komunitas Kajang yakni Ammatowa  sebagai tanda penghormatan dan menyampaikan maksud atas kedatangan kita.
Didalam kawasan masyarakat Kajang, tidak diperbolehkan membawa barang-barang elektronik, sehingga dimalam hari dikawasan itu hanya ada seberkas sinar pelita di sela-sela dinding kayu rumah penduduk.  Setiap anggota komunitas masyarakat kajang juga, diwajibkan memakai pakaian serba hitam. Dan ada larangan untuk mencuci pakaian serba hitam tersebut disembarang waktu.  Menurut mereka warna hitam melambangkan kesederhanaan, kesabaran, kesucian dan kesempurnaan hidup.  Masyarakat kajang sangat menjunjung kelestarian lingkungan alam. Mereka percaya jika manusia berbuat baik kepada alamnya maka kebaikanpun yang akan muncul sebaliknya jika manusia membuat kerusakan maka keburukan akan muncul. Di salah satu lokasi hutan, di kawasan Kajang yakni di Tombolo diyakini adalah hutan keramat sebab dipercaya  lokasi itu, tempat naik turunnya manusia ke bumi.
Di tempat yang lain, yang bernama Sopo di Desa Posiktana dijadikan tempat pelantikan Ammatowa, hal ini juga menunjukka bahwa Ammatowa diterima oleh alam dan lingkungannya. Tempat ini digunakan untuk mengumumkan suatu hal yang penting. Kini tempat itu dijadikkan tempat musyawarah Ammatowa dan perangkap adat untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut masyarakat. Hutan di kawasan adat Kajang sangat dijaga dan dilestarikan bukan karena didenda  uang tetapi kepercayaan mereka akan terkena kutukan jika melanggar   norma mengenai hutan.
Masyarakat Kajang memiliki mata pencaharian bertani, ladang dan perkebunan. Teknik penggarapan sawah mereka masih menekuni cara-cara yang diwariskan secara turun-temurun sampai sekarang.  Mereka tidak menerimah sistem pertanian modern, tidak menerima alat-alat modern. Mereka masih bertumpu pada sistem pertanian yang tradisional. Penolakan ini erat kaitannya dengan sistem nilai budaya anutan mereka, yaitu kamase-kamase atau hidup bersahaja. Mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip hidup yang pada hakikatnya takut menerima norma-norma diluar ajaran pasang mereka. Beberapa pasang yang menuntun adat orang Kajang agar kearah yang direstui oleh sang Pencipta, sebagai berikut:
1.   Ako naha-naha nalupunnai numange taua napatikki songo, artinya jangan berniat memiliki sesutu yang berasal dari tetesan keringat orang. Ini bermakna larangan agar tidak mengambil hak orang lain yang telah diperolehnya lewat usaha dan kerja keras, sekalipun hanya terbesit atau baru dalam niat.
2.  Ako nupalolori ere ri annunggayya, artinya jangan mengalirkan air ketinggian. Maknanya jangan melakukan hal yang sia-sia, tidak bermanfaat sebab akan merugikan diri sendiri.
3.  Ako appadai tummue parring, artinya jangan seperti orang membelah bambu, pesannya agar selalu berlaku bijak dan adil.
4.      Ako angngalepeki jangang polong, appapitto janganmater, artinya jangan membawa ayam patah ke tempat aduan dan menyabung ayam mati, bermakna anjuran agar setiap melakukan pekerjaan, perbuatan sesuai tempat dan waktunya dan disesuaikan kemampuan.
5.  Ako ara niareki ara labalanja labbi ringanggupppannu, artinya jangan ingin disanjung, ingin berbelanja melebihi pendapat. Maknanya menganjurkan untuk hidup sederhana.
6.  Katutui rienu rigantenganna tambattu palaraya, artinya jagalah milikmu sebelum masa paceklik tiba. Maknanya agar manusia tetap hidu sederhana tidak boros.
7.  Ako angngallei kaju tasanjeng, artinya jangan mengambil kayu yang disandarkan. Pasang ini bermakna jangan mengambil sesuatu yang jelas milik orang lain.
Dalam komunitas masyarakat Kajang, pasang adalah sesuatu yang harus ditaati jika tidak maka akan membawa marah bahaya dalam hidup, atau keburukan.     Ketaatan masyarakat Kajang terhadap kepemimpinan Ammatowa dapat dilihat pada saat terjadi pelanggaran kriminal dalam kawasan Kajang maka penyelesaiannya diserahkan pada yang berwajib, sedang yang sifatnya bukan kriminal akan ditangani langsung oleh Ammatowa Sendiri.
Komunitas sosial masyarakat Kajang tidak terlepas dari adanya nilai dan norma yang mereka anut. Di mana nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat Kajang. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat Kajang  menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama.



DAFTARA PUSTAKA

Halilintar latief. 2014. Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang. Yogyakarta. Padat Daya









Sabtu, 17 Januari 2015

Melawan Stereotip (Resensi Widya Ningsih)



Resensi
Judul   Buku                :Melawan Stereotip (Etnografi, Reproduksi Identitas, Dan
Dinamika Masyarakat Katobengke Buton yang          Terabaikan)
Penulis                        : Tasrifin Tahara
Penerbit                      : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)/PT. Gramedia
Kota Penerbit             : Jakarta
Tahun Terbit             : 2014
Jumlah  Halaman       :301 Halaman

Melawan Stereotip (Etnografi, Reproduksi Identitas, dan Dinamika Masyarakat Katobengke Buton yang Terabaikan) adalah judul buku, yang menurut saya sangat menarik.  Melawan stereotip? Pertama–tama apa sih stereotip itu?. Stereotip menurut saya adalah sebuah citra yang diberikan pada seseorang atau sebuah kelompok tertentu. Stereotip juga diartikan sebagai penilaian terhadap sebuah kelompok masyarakat atau kepada individu berdasarkan persepsi terhadap kelompok tersebut dikategorikan. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif  dan  kadang-kadang  dijadikan alasan  untuk melakukan tidakan diskriminasi.  
Di zaman modern saat ini ternyata masih banyak reproduksi masa lalu, yang dipertahankan hingga saat ini. Di masa lalu masyarakat yang menjadi pelayan kesultanan Buton, masih digolonkan golongan rendah hingga saat ini. Padahal sebagai warga Indonesia yang hidup di zaman kemerdekaan, seharusnya merasakan kehidupan persamaan, kesetaraan dengan yang lain. Tidak ada stereotip tertentu yang disandangkan kepada orang Katobengke. Karena kita semua sama, manusia ciptaan mahakuasa.
Setelah membaca buku ini, yang ditulis oleh Tasrifin Tahara saya dapat mengetahui bahwa stereotip yang disandangkan kepada orang Katobengke didasarkan pada beberapa hal. Di masyarakat Buton terbagun ideologi kekuasaan yang terbagi tiga kelompok, yaitu Kaomu (bangsawan), walaka (Menengah) dan papara. Kelompok papara inilah yang dianggap kelompok rendah  dan masyarakat Katobengke  digolonkan pada kelompok papara, kelompok kotor, berpenyakit kudis dan identik pekerja kasar. Padahal sebenarnya  dimasa silam,  kelompok papara Katobengke yang menetap diwilayah Kadie dalam kesultanan Buton menurut Idrus Amin, Katobengke merupakan kelompok papara paling istimewa dibanding dengan papara lain karena posisi wilayah mereka  yang berdekatan dan mendampingi ibu kota kesultanan (Wolio). Meraka adalah pekerja  yang digaji oleh bangsawan  kelompok kaomu dan walaka sehingga posisi mereka dekat dan dapat diartikan mewakili karakter para pekerja profesional ketimbang budak.
Setelah berakhirnya kesultanan Buton  pada tahun 1960, seharusnya pandangan masyarakat buton yang memposisikan orang Katobengke seperti pada masa kesultanan Buton sudah tidak ada lagi. Namun pemikiran lama telah disegarkan oleh kelompok kaomu-walaka dan kelompok lain di Buton. Hal ini dibuktikan dengan banyak contoh stereotip yang disandangkan pada masyarakat Katobengke, seperti: 
1.      A. Orang Katobengke dianggap bodoh,
Anggapan seperti ini masih bertahan hingga tahun 1970- an dan menjadi kewajaran orang Katobengke itu bodoh karena memang mereka tidak belajar atau sekolah. Mereka tidak bersekolah karena ada beberapa anggapan bahwa jika mereka sekolah dan menjadi pintar mereka akan sewenag-wenang pada orang lain. Mereka tidak ingin sekolah karena bagi mereka sekolah itu adalah penjajahan dan jika mereka mau bersekolah ada keloimpok lain yang sering menakut-nakuti bahwa kalau sudah sekolah nanti ada yang menculik dan memperkosa. Itu sebabnya hingga tahun 1980-an  masih jarang orang Katobengke yang sekolah. Orang tua mereka takut, apalagi jika anak mereka perempuan, takut jika diganggu dijalan dan diperkosa. Bagi anak laki-laki di Katobengke, mereka memilih  berkebun karena hasilnya lebih cepat kelihatan.
2.   B.  Orang Katobengke kuat makan
Stereotip bahwa orang katobengke kuat makan itu menjadi bahan olok-olokan. Namun sebenarnya  menurut La Anta salan satu imforman penulis sangat wajar jika orang Katobengke itu kuat makan nasi dan menghabiskan sampai berpiring-piring karena kandungan seratnya sedikit sehingga tidak mengenyangkan  jika dibandingka makana sehari-hari mereka yakni mengkonsumsi tepung tapioka yang dikukus menjadi kasaomi.  selain itu mereka juga mengkomsumsi jagung tua yang direbus yang disebut kambuse.
3.      C. Orang Katobengke berkaki lebar
Pada tahun 1970-1n orang Katobengke tiap pagi dan siang hari berjalan ke pasar secara bergerombol dan tidak menggunakan alas kaki, walaupun terik matahari menyengat. Kebiasaan mereka membuat tapal kaki mereka mengeras seperti sol sepatu. Kaki mereka pun menjadi lebar dan jari-jarinya seperti jempol semua yang mengeras. Kondisi kaki mereka yang seperti itu telah menjadi ciri khas orang Katobengke. Meski menjadi bahan olok-olokan, kondisi kaki yang lebar dan kuat juga menjadi keunggulan mereka dibidang olaraga sepak bola dan karate. Bahkan salah satu dari orang Katobengke yang bernama La Zaari pernah meraih medali emas dibidang karate untuk Provinsi Sulawesi Tenggara dalam pekan olaraga Nasional (PON) ke-12 di Jakarta.
4.     D.  Orang katobengke Batua
Ada beberapa alasan yang menempatkan orang Katobengke itu  Batua. Menurrut orang Walio, kebijakan kesultanan menempatkan orang Katobengke di lokasi pemukiman mereka yang sekarang karena mereka dipandang Batua. Lokasi yang sekarang mereka huni banyak binatanfg buas termasuk ular dan para batua ini ditempastkan sebagai mangsa binatang agar binatang terssebut tidak sampi di Wolio. Selain hal tersebut diatas, La Zia salah satu imforman penulis menuturkan bahwa alasan utama sehingga orangf katobengke di anggap Batua adalah karena pekerjaan mereka yakni berkebun, penjual ikan, tukang gali sumur, pemanjat kelapaa atau semacamnya yang menyangkut orang disuruh-suruh. Namun mereka menyikapi bahwa tidak ada istilah batua bagi kelompoknya dan itu hanya anggapan internal orang Wolio. Kondisi seperti itu hanyanlah pekerjaan profesional mereka untuk kelangsungan hidupnya. Stereotip sebagai batua juga muncul pada ajang politik sebut saja ketika pemilihan walikota dan wakil walikota Bau-Bau periode 2009-2013 dan pemilihan calon legislatif  tahuin 2009. Pada saat pemilihan walikota dan wakil walikota  muncul wacana kalau orang Katobengke mendukung atau memilih pasangan Drs. MZ Amirul Tamin, M.Si dan Drs. H. Laode Muh. Halaka Munarfa maka orangb Katobengke akan menjadi batua seperti pada masa kesultanan buton. Isu itu muncul dan berkembang karena salah satu calon ( H. Laode Muh. Halaka Manarfa) adalah cucu sultan Buton ke-38 Laode Muhammad Falihi.
5.       Stereotip bagi perempuan katobengke
Pada awalnya perempuan pada masa kesultanan Buton sangat istimewa , hal ini dapat dilihat dengan diangkatnya  raja pertama dan raja kedua kerajaan buton yang adalah perempuan yakni Ratu Wa  Kaab Kaa dan ratu Bulawambona. Namun kemerosotan kedudukan perempuan terjadi sterlah masuknya islam  sebagai agama resmi kerajaan perempuan pada saat itu tidak diberi nlagi peluang untuk menjadi raja. Dalam hubungan perkawinan ketegangan paling tinggi dirasakan oleh kelompok nkaomu-walaka karena mereka tidak diperbolehkan menikah dengan laski-laki yang berasal kelompok status sosial rendah. Lain halnya perempuan katobengke sejak dahulu perempua katobengke berperan pada sektor publik sperti nberkebun, pembuat gerabah, penjual keliling dan sebagainya.  Mereka juga berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Banyak perempuan Katobengke yang sering berjalan menjajakan barang dagangan dan menjadi bahan olok-olokan bahkan menjadi sasaran tindakan pelecehan oleh pemuda-pemuda berandal. 
Bebagai macam stereotip yang disandangkan kepada masyarakat Katobengke, menjadi sesuatu yang memuakkan pada masyarakat katobengke. Sehingga sebagian dari mereka berusaha bangkit dan melawan stereotip. Seperti yang dilakukan oleh Haji La Saeli  adalah seorang yang berasal dari Katobengke dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan bendahara rutin pada dinas pendapatan dan badan  pengelolaan keuangan pemerintah kota Bau-Bau. Haji La Saeli memiliki cita-cita menjalankan ibadah  haji, namun dikalangan masyarakat  buton, tersebar desus-desus bahwa orang Katobengke tidak akan selamat ketika mencapai mekah. Setinggi-tingginya orang Katobengke beribadah, cukup beribadah di tanah Buton saja. Haji La Saeli memberanikan diri melawan stereotip tersebut dan naik  haji.  Ternyata Haji La Saeli berhasil menunaikan ibadah  haji dan kembali dengan selamat.
Dijalur pendidikan pun, masyarakat Katobengke melawan stereotip yang menyatakan mereka bodoh. Memang hingga tahun 1980-an banyak masyarakat Katobengke yang bodoh karena belum ada yang bersekolah.  Menurut salah satu informan penulis, yang bernama La Zia, dialah orang pertama di Katobengke yang sekolah, itupun banyak tantangan yang ia hadapi seperti larangan dari neneknya, olok-olokan temannya. Olok-olokan yang dialami oleh La Zia telah membuatnya lebih termotivasi sekolah. Setelah berjuang untuk sekolah pada akhirnya La Zia bisa menjadi guru dan hal tersebut memberi pengaruh besar kepada orang di Katobengke. Banyak yang mulai sekolah dan sadar akan pentingnya pendidikan.
Stereotip yang di sandangkan pada masyarakat Katobengke menjadi sebuah pertarungan tersendiri. Stereotip itu  telah dimaknai oleh orang Katobengke sebagai suatu motivasi untuk maju, berkembang dan  naik kelas. Yang dibuktikan dibeberapa arena pertarungan seperti lewat jalur politik, ikut dalam pemilihan caleg dan beberapa orang Katobengke yang menduduki jabatan /Eselon pada pemeintahan Kota Bau-bau.
Kesimpulan:
Menurut saya dengan banyaknya stereotip yang disandangkan pada masyarakat Katobengke, membuat mereka sadar akan diri mereka. Kekuasaan orang wolio atau kelompok kaomu dan walaka atas stereotip orang Katobengke, telah menjadi sebuah motivasi besar bagi kelompok Katobengke untuk  mereproduksi sebuah kekuasaan atau identitas baru untuk kelompok mereka dan membuktikan bahwa tidak semua stereotip-stereotip untuk masyarakat Katobengke sepenuhnya benar. Ini dibuktikan dengan adanya orang Katobengke yang mampu menjadi anggota legislatif, mampu menduduki jabatan  di pemerintahan, bisa menjadi guru dll.
Streotip-stereotip itu juga berpengaruh pada proses interaksi sosial. Stereotip  itu selanjutnya  menentukan sikap masyarakat Katobengke. Kemudian, stereotip itu menunjukkan dampaknya melalui sikap dari orang yang ikut berinteraksi. Sikap itu selanjutnya dapat menimbulkan konfllik atau tidak.