Organisasi
Lokal
Indonesia adalah negara yang
terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Dari Sabang sampai Marauke
tentunya dari berbagai macam suku bangsa
itu, disetiap masyarakatnya ada sebuah organisasi lokal. Didalam oraganisasi lokal
itu terdapat sebuah norma yang menjadi landasan apakah boleh atau tidak boleh
sesuatu itu dilakukan. Dengan adanya norma dalam setiap komunitas sosial
tentunya akan ada kontrol sosial sebagai akibat atau sanksi untuk norma-norma
yang dilanggar.
Telah
diketahui bahwa bangsa Indoesia terdiri dari beberapa kepercayaan yang hingga
kini masih dipertahankan ditengah-tengah zaman modern yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, terkhusus di Sulawesi Selatan ada dua Masyarakat kecil yang masih mempertahankan
kepercayaanya antara lain:
1.
Masyarakat
penganut kepercayaan Tolotang di Amparita Kabupaten Sidrap
2.
Masyarakat
penganut kepercayaan Ammatoa Kajang di kabupaten Bulukumba.
Kedua penganut kepercayaan tersebut diatas tentu
saja memiliki suatu ciri khas, dalam kehidupan sosial budayanya. Ciri khas tersebut
merupakan pembeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Di masyarakat
kajang tentunya ada norma-norma khusus yang dianut dan harus ditaati. Seperti
ketika kita ingin berkunjung ke Kajang, kita harus mengenakan pakaian hitam dan
tidak diperbolehkan untuk menggunakan kendaraan dengan kata lain kita harus
berjalan kaki untuk masuk dikawasan adat Kajang. Langka pertama yang harus
dilakukan jika tiba di kawasan adat kajang adalah meminta izin pada pimpinan Komunitas Kajang yakni Ammatowa sebagai tanda penghormatan dan menyampaikan
maksud atas kedatangan kita.
Didalam
kawasan masyarakat Kajang, tidak diperbolehkan membawa barang-barang
elektronik, sehingga dimalam hari dikawasan itu hanya ada seberkas sinar pelita
di sela-sela dinding kayu rumah penduduk.
Setiap anggota komunitas masyarakat kajang juga, diwajibkan memakai
pakaian serba hitam. Dan ada larangan untuk mencuci pakaian serba hitam
tersebut disembarang waktu. Menurut
mereka warna hitam melambangkan kesederhanaan, kesabaran, kesucian dan
kesempurnaan hidup. Masyarakat kajang
sangat menjunjung kelestarian lingkungan alam. Mereka percaya jika manusia
berbuat baik kepada alamnya maka kebaikanpun yang akan muncul sebaliknya jika
manusia membuat kerusakan maka keburukan akan muncul. Di salah satu lokasi
hutan, di kawasan Kajang yakni di Tombolo diyakini adalah hutan keramat sebab
dipercaya lokasi itu, tempat naik
turunnya manusia ke bumi.
Di
tempat yang lain, yang bernama Sopo di Desa Posiktana dijadikan tempat
pelantikan Ammatowa, hal ini juga menunjukka bahwa Ammatowa diterima oleh alam
dan lingkungannya. Tempat ini digunakan untuk mengumumkan suatu hal yang
penting. Kini tempat itu dijadikkan tempat musyawarah Ammatowa dan perangkap
adat untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut masyarakat. Hutan di kawasan
adat Kajang sangat dijaga dan dilestarikan bukan karena didenda uang tetapi kepercayaan mereka akan terkena
kutukan jika melanggar norma mengenai
hutan.
Masyarakat
Kajang memiliki mata pencaharian bertani, ladang dan perkebunan. Teknik
penggarapan sawah mereka masih menekuni cara-cara yang diwariskan secara
turun-temurun sampai sekarang. Mereka
tidak menerimah sistem pertanian modern, tidak menerima alat-alat modern.
Mereka masih bertumpu pada sistem pertanian yang tradisional. Penolakan ini
erat kaitannya dengan sistem nilai budaya anutan mereka, yaitu kamase-kamase
atau hidup bersahaja. Mereka berpegang teguh pada prinsip-prinsip hidup yang
pada hakikatnya takut menerima norma-norma diluar ajaran pasang mereka.
Beberapa pasang yang menuntun adat orang Kajang agar kearah yang direstui oleh
sang Pencipta, sebagai berikut:
1. Ako naha-naha nalupunnai numange taua
napatikki songo, artinya jangan berniat memiliki sesutu yang berasal dari tetesan
keringat orang. Ini bermakna larangan agar tidak mengambil hak orang lain yang
telah diperolehnya lewat usaha dan kerja keras, sekalipun hanya terbesit atau
baru dalam niat.
2. Ako
nupalolori ere ri annunggayya, artinya jangan mengalirkan air ketinggian.
Maknanya jangan melakukan hal yang sia-sia, tidak bermanfaat sebab akan
merugikan diri sendiri.
3. Ako
appadai tummue parring, artinya jangan seperti orang membelah bambu, pesannya
agar selalu berlaku bijak dan adil.
4.
Ako
angngalepeki jangang polong, appapitto janganmater, artinya jangan membawa ayam
patah ke tempat aduan dan menyabung ayam mati, bermakna anjuran agar setiap
melakukan pekerjaan, perbuatan sesuai tempat dan waktunya dan disesuaikan
kemampuan.
5. Ako
ara niareki ara labalanja labbi ringanggupppannu, artinya jangan ingin
disanjung, ingin berbelanja melebihi pendapat. Maknanya menganjurkan untuk
hidup sederhana.
6. Katutui
rienu rigantenganna tambattu palaraya, artinya jagalah milikmu sebelum masa
paceklik tiba. Maknanya agar manusia tetap hidu sederhana tidak boros.
7. Ako
angngallei kaju tasanjeng, artinya jangan mengambil kayu yang disandarkan.
Pasang ini bermakna jangan mengambil sesuatu yang jelas milik orang lain.
Dalam
komunitas masyarakat Kajang, pasang adalah sesuatu yang harus ditaati jika
tidak maka akan membawa marah bahaya dalam hidup, atau keburukan. Ketaatan masyarakat Kajang terhadap
kepemimpinan Ammatowa dapat dilihat pada saat terjadi pelanggaran kriminal
dalam kawasan Kajang maka penyelesaiannya diserahkan pada yang berwajib, sedang
yang sifatnya bukan kriminal akan ditangani langsung oleh Ammatowa Sendiri.
Komunitas
sosial masyarakat Kajang tidak terlepas dari adanya nilai dan norma yang mereka
anut. Di mana
nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh
masyarakat Kajang. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat
Kajang menciptakan aturan-aturan yang
tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap
perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
DAFTARA
PUSTAKA
Halilintar latief. 2014. Berkunjung ke Pusat Bumi Kajang.
Yogyakarta. Padat Daya