Jumat, 17 Februari 2012

Sejarah Politik


Sulawesi Selatan
Boneka dan Patriot
Pada tahun 1945-1949 Sulawesi Selatan menjadi tempat perlawanan atas kembalinya pemerintahan Belanda dan saat itu merupakan pusat NIT (Negara Indonesia Timur) yang merupaka Negara yang paling berkembang diantara Negara-negara federal yang di buat oleh Belanda. Itulah sebabnya Belanda berupaya menegakkan kekuasaannya di Sulawesi Selatan, Dalam perjanjian linggarjati pemerintah Indonesia menerimah usul Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Serikat. Secara de facto Belanda mengakui kekuasaan republic Jawa dan Madura dan Sulawesi Selatan bagian Negara federal Indonesia.
Ketika menyambut kemerdekaan Indonesia gerakan nasional di Sulawesi Selatan kurang siap dibandingkan dengan rekan-rekan dari Jawa dan Sumatra. Disebabkan karena Ratulagie seorang gubernur Sulawesi yang baru diangkat tidak ingin mendapat kesukaran dengan sekutu atau Jepang-Khususnya ia tidak yakin dengan kaum nasionalis dan bangsawan setempat. Baik ia sendiri maupun pemimpin pemuda dan mengingat pernyataan sekutu tentang kaum kolaborator, khawatir akan nasib mereka.
Di akhir bulan agustus para bekas heiho dan Bui Taisintai menganjurkan Ratulagie mengumumkan Sulawesi Selatan bagian dari RI dan mengadakan pameran menentang pendaratan sekutu. Namun kembalinya Belanda ke Indonesia lebih cepat dari dugaan. Mereka mendarat pada tanggal 21 september 1945 dalam beberpa hari saja sekitar 460 orang yang masih ditahan dan ingin diangkut ke Australia dan tahanan Belanda yang 3.000 orang banyak di tempatkan kembali di Makassar. Di lain  pihak para pemuda dan masyarakat di pedalaman dengan Garang menentang kembalinya belanda ke Indonesia. Mereka melakukan perlawanan-perlawanan seperti serbuan terhadap asrama polisi.
Diakhir bulan oktober kira-kira 25 kelompok pemuda yang aktif bergerak di Makassar. Yang terpenting yakni PPNI (pusat pemuda nasional Indonesia) yang diketuai oleh Manai Sophiaan. Di malam hari tanggal 28-29 Oktober para anggota PPNI memimpin serangan bersenjata atas gedung-gedung polisi dan pemerintahan Belanda Di Makassar merebut stasiun radio dan mengganti bendera Belanda yang ada di depan gedung pemerintahan dengan bendera merah  putih. Mereka juga menyerang asrama polisi dan hotel-hotel tempat tinggal para pejabat NICA. Karena tidak dapat menanggulangi Belanda para penyerbu sebelum hari itu lewat para pemuda telah berhasil mereka penjarakan atau telah melarikan diri.
Setelah kegagalan penyerbuan para pemuda melakukan perlawanan yang beranjak kedua arah yakni di Sulawesi Selatan dan Jawa yang bekerjasama dengan para pemuda Sulawesi yang ada di Jakarta (kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi). Perlawan terhadap Belanda di Sulawesi Selatan paling kuat terdapat di daerah-daerah yang penguanya pro-republik dan bekerjasama dengan pemuda revulusioner. Hal ini merupakan kejutan bagi Belanda. Pada saat itu Belanda berusaha untuk membentuk NIT tetapi sebelum mendirikan itu Belanda berusaha untuk menhancurkan perlawanan pro-Republik di Sulawesi Selatan, yakni Makassar karena merupakan daerah yang banyak penduduknya dengan cara mengambil keuntungan dari persaingan para nasionalis terkemuka dan kalangan bangsawan dan menyingkirkan para penguasa yang tidak mau bekerjasama.
Di tahun 1946 yakni bulan desember NIT diproklamasikan oleh Belanda. Kemudian penantanganan perjanjian linggarjati, yang menyatakan Kalimantan dan Indonesia timur dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia Serikat (RIS) yang akan menjadi anggota uni Indonesia Belanda.  Namun demikian revolusi nasional di Sulawesi Selatan punya dua aspek yang berbeda ada yang digolonkan sebagai boneka dan patriot. Namun demikian perbedaan yang mencolok antara pengalaman revolusi di pedalaman dan di kota Makassar banyak menyebabkan pergolakan .
Munculnya Makassar sebagai kota NIT punya dua pengaruh terhadap kota itu.Pedalaman pun kian tajam. Yang penting lagi kota dikenal sebagai pusat kenang-kenangan dan kegiatan orang-orang yang pro-Belanda. Perlawanan di pedalaman lebih lama ketimbang di kota. Di pedalaman Kaloborasi dengan Belanda dianggap keji. Pada umumnya, pembagian di Sulawesi selatan itu menimbulkan atau meninggalkan sisa-sisa kebencian dan balas demdan. Sejumlah penguasa yang pro-Belanda dicopot dari jabatannya, beberapa diantaranya dibunuh, setelah pemulihan kedaulatan dan pembubaran NIT. Setelah itu hubungan-hubungan antara pusat dan daerah di mata orang Sulawesi Selatan telah ternoda oleh kolaborasi yang tersirat dalam pembentukan NIT .

Sabtu, 11 Februari 2012

Permesta




  1. Permesta (Pemberontakan Setengah Hati)
    Buku ini ditulis oleh Barbara Sillars Harvey.
    Diterjemahkan oleh  Inkultra. 
    Penerbit : PT Pustaka Grafiti Kelapa Gading Boelevard TN-2 No.14-15 Jakarta 19240.
    Cetakan pertama, 1984 dan cetakan kedua, 1989.
     
    Permesta merupakan sumber kisah yang sangat luas. Tidak lengkap jika peristiwa itu hanya direkam dalam buku sejarah. Di sela-sela fakta sejarah, peristiwa speaktakuler setengah abad lalu itu menyimpan banyak sekali kisah menarik bernuansa kemanusiaan. Selain itu, masih banyak hal yang terkait dengan perjuangan Permesta itu yang hingga kini masih misterius dan dipertanyakan banyak kalangan. Untuk menyingkap keadaan sebenarnya, diperlukan dan penggalian lebih jauh, untuk mendekatkan kesimpulan pada keadaan yang sebenarnya.
        Melalui buku ini Barbara Harvey mencoba melukiskan kembali atau membuat rekonstruksi tentang peristiwa permesta. Ia mulai latar belakang nasional dan latar belakang wilayah Indonesia Timur, terutam Sulawesi, lalu diteruskan dengan kejadian-kejadian di sekitar kelahiran permesta tanggal 2 Maret di Makassar. Kemudian, dan bagian terbesar dalam buku ini , diceritakannya bagaimana permesta akhirnya terpusat di Sulawesi Utara, terutama di Minahasa, yang menjadi kancah pemberontakannya. Barbara berhasil memperoleh informasi dari berbagai sumber, seperti dokumen, surat kabar lokal dan wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah terlibat dalam peristiwa bersejarah itu, termasuk yang menjadi promotor permesta maupun yang memainkan peranan lain, termasuk  yang menentang, dengan perkataan lain ia berusaha mencari dan mengali data seluas dan sedalam mungkin serta berupaya melukiskan rekonstruksinya secara cermat dan seobjek mungkin.
    Dalam buku yang ditulis oleh Barbara Sillars Harvey yang berjudul Permesta (Pemberontakan Setengah Hati). Barbara mengemukakan dalam konteks nasional bahwa memuncaknya pemberontakan permesta dari tahun 1958-1961adalah salah satu dari berbagai pertentangan yang saling berhubungan, yang lahir dari kekecewaan terhadap demokrasi parlementer. Kekecewaan didasarkan pada ketidaksenangan yang luas terhadap struktur negara yang ada, yakni birokrasi, yang tidak efisien dan korup  serta tujuh kabinet yang semua berusia singkat dari periode 1949-1957. Pertentangan itu berlangsung antarkelompok dan antarperorangan yang mempunyai berbagai pandangan tentang cara mengatasi kekurangan dari sistem politik.  Pusat persoalan adalah mengenai dasar negara itu sendiri, struktur lembaga – lembaga pemerintahan pusat dan daerah serta hubungan antara keduanya.  Pernyataan yang tegas tentang kontrol nasional atas ekonomi: peranan partai-partai politik dan tentara dan kedudukan islam serta komunisme dalam negara. Disebabkan perbedaan sifat-sifat ekonomi, kultur, dan sosial di Jawa dan pulau-pulau luar Jawa. Semua persolan ini mempunyai dimensi kedaerahan dan nada tambahan kesukuan. Suatu penilain atas perbedaa-perbedaan ini  penting sekali untuk suatu pemahaman mengenai pertentangan kepentingan, yang melatarbelakangi ketegangan yang meningkat antara daerah-daerah terpencil dan pemerintah pusat. Seperti halnya hubungan antara Indonesia Timur dan Jakarta. Sungguh suatu penyederhanaan yang berlebih-lebihan untuk menganggap Indonesia Timur sebagai suatu daerah yang bersatu, baik dalam lingkup sipil maupun militer. Tetapi atas nama Indonesia Timur tantangan terhadap pemerintah pusat yang dikenal dengan permesta secara resmi dikeluarkan pada 2 Maret 1957 di Makassar.  Yang merupakan daerah inti permesta dan di minahasa, tempat rakyat dalam mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat dibawah bendera permesta. Rakyat di dua daerah ini menafsirkan tujuan-tujuan permesta dalam hubungan kepentingan mereka yang khusus di Sulawesi Selatan untuk mengakhiri pemberontakan Kahar Muzakkar dan di utara menguasai hasil perdagangan kopra. Permesta menurut Barbara, merupakan penciutan basis teritorial gerakan itu dari seluruh Indonesia Timur ke dalam wilayah yang secara kultural dan Religius serba sama yaitu Minahasa. Dalam Piagam Perjoangan Semesta Dalam Wilayah TT-VII Wirabuana , dikemukakan bahwa dalam bidang pemerintahan, tujuan Permesta adalah Otonomi luas dengan ketentuan sebagai berikut: bagi daerah surplus, 70% dari pendapatan daerah dan 30% untuk pemerintah pusat. Adapun bagi daerah minus, 100% pendapatan daerah utuk daerah dan ditambah subsidi dari pemerintah pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.  Tuntutan Permesta tersebut, dilatarbelakangi oleh kemiskinan yang melilit rakyat Sulawesi Utara khususnya keluarga tentara. Padahal, di atas kertas, Sulawesi Utara adalah daerah kaya raya limpah kopra.  Semula, Panglima Indonesia Timur kala itu, Joop Warouw, mengizinkan praktek barter kopra untuk menyiasati kemiskinan yang melilit tentara. Sayangnya, Jakarta melarang praktek barter.
    Kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Pembubaran TT-VII dan KoDPSST pada bulan Juni 1957 telah meredakan situasi tegang yang meliputi Makassar semenjak pengumuman undang-undang keadaan darurat pada tanggal 2 Maret. Walaupun bagian terbesar para perwiran Sulawesi Selatan puas dengan persetujuan Juni serta pengakuan atas KDM-SST. Terdapat oposisi dari pihak perwira Minahasa terdapat pembagian Indonesia Timur kedalam komando-komando daerah yang di kordinasikan dengan pusat MBAD.
    Di Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, rasa tidak puas kepada kebijaksanaan pemerintah pusat meledak pada tahun 1956 dalam pengambilalihan yayasan kopra dan banjir protes terhadap penutupan pelabuhan Bitung. Tuntutan untuk mendapatkan otonomi daerah di Sulawesi Utara digabung dengan agitasi untuk memecah pulau tersebut menjadi dua propinsi. Orang Minahasa, kelompok politik yang dominan mendukung  pembagian menjadi dua Propinsi dengan batas-batas keresidenan Belanda, yang akan mencakup Sulawesi Tenggah yaitu Gorontalo dan Minahasa, dan akan merupakan satu Propinsi dengan Menado sebagai Ibu Kotanya. Pada tahun 1957 perpecahan antara Sulawesi Utara dan Selatan yang dilambangkan oleh pindahnya Sumul ke Minahasa pada Juni, semakin mendalam.
    Walaupun kegiatan pemimpin permesta berpusat pada proyek-proyek pembangunan dan perdagangan kopra sebagai pembelajarannya, mereka juga prihatin dengan kondisi militer di daerah mereka, yang menjadi problem di Sulawesi Utara bukanlah pemberontakan , walaupun pada Desember 1956 ada berita tentang peningkatan aktifitas Pasukan Pembela Keadilan –PPK- . Perhatian pokok  pemimpin militer Sulawesi utara  adalah rasionalisasi  struktur Resimen Infanteri-24, dan setelah Bulan September 1957. Pembiaraan untuk menambah kekuatan TNI di Sulawesi Utara dan membuat struktur komando yang teratur sudah dimulai sebelum pengumuman Undang-Undang darurat pada tanggal 2 Maret 1957.
    Pada bulan Juli 1957 pemerintah pusat menyatakan keprihatinannya terhadap problem di Sulawesi Utara, bahkan terhadap problem Permesta, sementara situasi di Selatan cukup terkendali  dibawah seorang tokoh daerah yang sangat dihormati, andi Pengerang, yang sering menyampaikan keprihatinannya terhadap  kesatuan Republik dan mengecam mereka mengunakan semboyan pembangunan untuk menyebunyikan maksud-maksud seperatis, Namun di Utara tidak ada tokoh daerah yang dapat diandalkan pemerintah Pusat,  selain itu Manual mendapat dukungan  kuat dari teman-temannya orang Minahasa. Jakarta mengirim misi ke Sulawesi Utara yang terdiri dari pejabat tinggi pemerintah pusat yang berasal dari Minahasa, selama kunjungan itu mereka mendapat pujian  tentang permesta, dan tampaknya akan terwujud persetujuan antara para pemimpin daerah dan pemerintah pusat.
    Sebelum pembukaan Munas. Samual mengabung pada pembangkangan dari Sumatera , kolonel Husein dan Kolonel Berlian mengadakan rapat di Palembang  tanggal 8 september  yang ketiganya mendatangani piagam Palembang, piagam ini menyatakan keragu-raguan  Munas akan dapat menyelesaikan  masalah Nasional, selanjutnya meminta tuntutan. Pertama mereka meminta pemulihan Dwitunggal Soekarno Hatta. Kedua, Pengantian MBAD sebagai langkah awal pertama untuk kestabilan TNI. Ketiga, desentralisasi pemerintahan nasional. Keempat Pembentukan sebuah  senat. Keempat peremajaan dan penyederhanaan aparat negara dan larangan terhadap komonisme karena hakikatnya yang bersifat Internasional. Piagam itu tidak diumumkan ketika itu, dan ketiga kolonel tersebut menghadiri munas sebagai peninjau. Kedudukan resmi samual pada konfrensi adalah  sebagai penasehat delegasi  Sulawesi Utara  yang dipimpin oleh Mayor Somba. Sulawesi Selatan mempunyai delegasi tersendiri yang dipimpi oleh Gubernur Andi pengerang. Musyawarah Nasional dibagi dalam komite-komite untuk membicarakan persoalan empat bidang. Pemerintahan administrasi, keuangan, pembangunan, dan angkatan bersenjata terutama angkatan darat, serta dwifungsi Soekarno dan Hatta.
     Kemudian dengan jatuhnya kotamobagu pada september 1959 merupakan pukulan dahsyat bagi gerakan permesta karena meski pasukan pasukan permesta berhasil melangsungkan perang gerilya yang berkepangjangan, posisi mereka menjadi amat lemah. Ketegangan di dalam tubuh pasukan pemberontak sendiri baik antara pemimpin, antara kesatuandan antara kaum pemberontak dan rakyat yang semaking memuncak. Para pemberontak menjadi kehilangan tempat pangkalan aman mereka Minahasa merekapun kini tercerai berai di tempat-tempat terpencil di daerah pengunungan atau hutan rimba. Para komandan banyak kehilangan alat komunikasi mereka, dan hubungan satu sama lain sangat sulit. Namun sebenarnya yang mengakhiri pemberontakan permesta bukan karna tidak adanya daerah pangkalan mereka atau berkurangnya dukungan rakyat bahkan bukan pula karena keberhasilan pemerintah pusat, melainkan kegagalan kepemimpinan pasukan-pasukan permesta sendiri, kegagalan bukan karena ketidakmampuan mereka dalam bidang militer melainkan karena perpecahan yang terjadi  antara perwira dalam gerakan tersebut.
    Barbara Sillars Harvey pun pada sebuah kesimpulan bahwa Pemberontakan Permesta merupakan pemberontakan setengah-setengah atau pemberontakan setengah hati. Kesimpulan tersebut diambil karena pada mulanya sungguh tidak terlintas sedikitpun dalam benak tokoh-tokoh Permesta untuk melakukan pemberontakan atau memisahkan diri dari RI, tempat kelahiran mereka sendiri juga tempat yang mereka perjuangkan dalam revolusi fisik. Gerakan tersebut, menurut Harvey, murni semacam gertakan terhadap Jakarta supaya memperbaiki pola kebijaksanaan politiknya sehingga lebih mencerminkan aspirasi atau kepentingan daerah-daerah di luar Jawa. Serta keengganan banyak pengikutnya untuk turut bertempur dan kegaglan banyak pengikut meramal akibat tindak tanduk mereka, atau ketidak mampuan mereka membuat persiapan menghadapi segala kemungkinan. Para pemimpin gerakan itu keliru membuat perhitungan karena mengira tantangan mereka ke pemerintah pusat akan mendapat dukungan luas, seluruh negeri termasuk Jawa. Dalam keyakinan mereka pemerintah pusat tidak akan mau mengerahkan pasukan senjata untuk membuktikan kekuasaannya. Sikap setengah hati pemberontakan itu juga merupakan cermin tujuan yang terbatas para pemimpin serta pengikutnya. Para pemberontak didorong oleh suatu keinginan mengubah kebijaksanaan nasional dan bukan untuk membentuk sruktur sosial yang sama sekali baru.  Dukungan rakyat juga terhadap pemberontakan lebih berdasar pada ikatan persaudaraan sesuku dan sedaerah daripada keterlibatan yang luas dasarnya terhadap prinsip-prinsip yang absrak . Meski mendapat dukungan lumayan di Minahasa untuk membuatnya bertahan selama tiga tahun dalam bentuk perang gerilya namun tidak berhasil secara besar-besaran menggerakkan rakyat di daerah ituatas dasar daya tarik ideologis.
    Pemberontakan  Permesta berakhir hampir dua tahun setelah terbentuknya periode baru dalam sejarah politik Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin, yang secara resmi pada bulan Juli 1959 dengan kembalinya Indonesia kepada UUD 1945. Gerakan pemberontakan ini mula-mula merupakan protes terhadap pandangan Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin, tetapi akibat gerakan pemberontakan itu justru memperkuat perkembangan politik yang diharapkan dihindari para pemimpin gerakan tersebut. Kekuasaan pusat diperkuat dengan mengorbankan otonomi daerah. Nasional radikal mengalahkan cara moderat yang pragmatis. Sedangkan pengaruh Soekarno dan PKI diperkuat dengan mengorbankan Hatta dan Masyumi.
    Titik puncak kelonggaran yang diberikan pemerintah pusat kepada tuntutan otonomi daerah telah dicapai justru sebelum terjadi pemberontakan, dengan diumumkannya pada bulan Januari 1957, undang-undang no.1 mengenai pemerintah daerah yang memungkinkan memilih DPRD dan kepala daerah. Pelaksanaan undang-undang itu terhalang bahkan sejak semula akibat hukum darurat diseluruh negara pada bulan maret 1957, dan ketapan mengenai pemilihan kepala daerah diubah oleh dekrit presiden bulan September 1959. Jadi meskipun pada bulan Januari 1961 pemerintah pusat memberikan status otonomi kepada provinsi Sulawesi utara yang baru saja terbentuk, kontrol pusat tetap saja ada melalui kepala daerah yang ditunjuk, yang sekaligus merangkap sebagai gubernur provinsi tersebut.


    Kritik
    Dalam buku Permesta (Pemberontaka Setengah hati) saya menyimpulkan bahwa Permesta bukan pemberontakan, melainkan sebuah deklarasi politik. Isinya seperti yang diperjuangkan gerakan reformasi sekarang ini. Dulu, gerakan reformasi  disebut sebagai Permesta. Permesta, menurut saya lebih merupakan kritik terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku kala itu: Undang-Undang Sementara 1950. UU tersebut secara tegas mengatur otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah dan hak asasi manusia. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah dilaksanakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
    Menurut saya gerakan-gerakan PRRI sebenarnya digerakkan oleh tentara atau kolonel  militer yang tidak puas dan konflik antar elit militer, kemudian mengunakan rakyat sipil untuk melakukan pemberontakan, artinya gerakan tersebut di gerakkan oleh militer sendiri. Sumatera Barat misalnya, sejak adanya PRRI sampai sekarang masih memperoleh sejarah buruk dalam perjalanan Sumatera Barat, konsekuensinya masih terasa sampai sekarang,  relatif kurang Jenderal dari Sumbar, di tambah lagi yang menariknya banyak nama orang-orang Sumatera Barat yang berganti menjadi nama Jawa pasca gerakan PRRI Permesta ini, untuk  mempermudah mendapatkan pekerjaan dari pemerintah pusat, tapi pristiwa PRRI sudah di rehabilitasi sebagai gerakan pemberontak oleh pusat,  PRRI Permesta  sebenarnya  adalah gerakan yang tidak puas kepada pusat dan gerakan tersebut tidak murni muncul dari rakyat sipil Sumatera Barat tetapi akibat konflik-konflik  elit Jenderal dari pusat yang digerakkan oleh militer sendiri. Namun yang jelas sejarah milik orang yang berkuasa ketika itu, bisa dirubah, dibelokkan dan dibenarkan, tergantung penguasa ketika itu.
    Buku Barbara Harvey ini merupakan karya ilmiah yang menurut saya begitu berbobot, yang secara cermat, teliti dan sungguh-sungguh merekonstruksikan peristiwa permesta. buku ini lengkap dengan penjelasan yang dapat dimengerti dengan mudah, dilampirkan semua hal-hal yang menyangkut permesta. bukan tidak mempunyai kekurangan tetapi sulit kiranya untuk meragukan kejujuran ilmiah pengarangnya. Itu berarti buku ini dapat mengundang atau menantang para ahli lain, terutama ahli bangsa kita , untuk melahirkan karya-karya ilmiah baru yang tidak kalah bagusnya.
    By : Widya Ningsih...Ilmu Sejarah Unhas
    SEMOGA BERGUNA UNTUK SEMUANYA, SARAN DAN KRITIK UNTUK MEMBANGUN, AGAR TULISAN2 BERIKUTNYA LEBIH BAIK LAGI.