Sulawesi Selatan
Boneka dan Patriot
Pada
tahun 1945-1949 Sulawesi Selatan menjadi tempat perlawanan atas kembalinya
pemerintahan Belanda dan saat itu merupakan pusat NIT (Negara Indonesia Timur)
yang merupaka Negara yang paling berkembang diantara Negara-negara federal yang
di buat oleh Belanda. Itulah sebabnya Belanda berupaya menegakkan kekuasaannya
di Sulawesi Selatan, Dalam perjanjian linggarjati pemerintah Indonesia
menerimah usul Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Serikat. Secara de
facto Belanda mengakui kekuasaan republic Jawa dan Madura dan Sulawesi Selatan
bagian Negara federal Indonesia.
Ketika
menyambut kemerdekaan Indonesia gerakan nasional di Sulawesi Selatan kurang
siap dibandingkan dengan rekan-rekan dari Jawa dan Sumatra. Disebabkan karena
Ratulagie seorang gubernur Sulawesi yang baru diangkat tidak ingin mendapat
kesukaran dengan sekutu atau Jepang-Khususnya ia tidak yakin dengan kaum
nasionalis dan bangsawan setempat. Baik ia sendiri maupun pemimpin pemuda dan
mengingat pernyataan sekutu tentang kaum kolaborator, khawatir akan nasib
mereka.
Di
akhir bulan agustus para bekas heiho dan Bui Taisintai menganjurkan Ratulagie
mengumumkan Sulawesi Selatan bagian dari RI dan mengadakan pameran menentang
pendaratan sekutu. Namun kembalinya Belanda ke Indonesia lebih cepat dari
dugaan. Mereka mendarat pada tanggal 21 september 1945 dalam beberpa hari saja
sekitar 460 orang yang masih ditahan dan ingin diangkut ke Australia dan
tahanan Belanda yang 3.000 orang banyak di tempatkan kembali di Makassar. Di
lain pihak para pemuda dan masyarakat di
pedalaman dengan Garang menentang kembalinya belanda ke Indonesia. Mereka
melakukan perlawanan-perlawanan seperti serbuan terhadap asrama polisi.
Diakhir
bulan oktober kira-kira 25 kelompok pemuda yang aktif bergerak di Makassar.
Yang terpenting yakni PPNI (pusat pemuda nasional Indonesia) yang diketuai oleh
Manai Sophiaan. Di malam hari tanggal 28-29 Oktober para anggota PPNI memimpin
serangan bersenjata atas gedung-gedung polisi dan pemerintahan Belanda Di
Makassar merebut stasiun radio dan mengganti bendera Belanda yang ada di depan
gedung pemerintahan dengan bendera merah
putih. Mereka juga menyerang asrama polisi dan hotel-hotel tempat
tinggal para pejabat NICA. Karena tidak dapat menanggulangi Belanda para
penyerbu sebelum hari itu lewat para pemuda telah berhasil mereka penjarakan
atau telah melarikan diri.
Setelah
kegagalan penyerbuan para pemuda melakukan perlawanan yang beranjak kedua arah
yakni di Sulawesi Selatan dan Jawa yang bekerjasama dengan para pemuda Sulawesi
yang ada di Jakarta (kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi). Perlawan terhadap
Belanda di Sulawesi Selatan paling kuat terdapat di daerah-daerah yang
penguanya pro-republik dan bekerjasama dengan pemuda revulusioner. Hal ini
merupakan kejutan bagi Belanda. Pada saat itu Belanda berusaha untuk membentuk
NIT tetapi sebelum mendirikan itu Belanda berusaha untuk menhancurkan
perlawanan pro-Republik di Sulawesi Selatan, yakni Makassar karena merupakan
daerah yang banyak penduduknya dengan cara mengambil keuntungan dari persaingan
para nasionalis terkemuka dan kalangan bangsawan dan menyingkirkan para
penguasa yang tidak mau bekerjasama.
Di
tahun 1946 yakni bulan desember NIT diproklamasikan oleh Belanda. Kemudian
penantanganan perjanjian linggarjati, yang menyatakan Kalimantan dan Indonesia
timur dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia Serikat (RIS) yang akan menjadi
anggota uni Indonesia Belanda. Namun demikian
revolusi nasional di Sulawesi Selatan punya dua aspek yang berbeda ada yang
digolonkan sebagai boneka dan patriot. Namun demikian perbedaan yang mencolok
antara pengalaman revolusi di pedalaman dan di kota Makassar banyak menyebabkan
pergolakan .
Munculnya
Makassar sebagai kota NIT punya dua pengaruh terhadap kota itu.Pedalaman pun
kian tajam. Yang penting lagi kota dikenal sebagai pusat kenang-kenangan dan
kegiatan orang-orang yang pro-Belanda. Perlawanan di pedalaman lebih lama
ketimbang di kota. Di pedalaman Kaloborasi dengan Belanda dianggap keji. Pada
umumnya, pembagian di Sulawesi selatan itu menimbulkan atau meninggalkan
sisa-sisa kebencian dan balas demdan. Sejumlah penguasa yang pro-Belanda
dicopot dari jabatannya, beberapa diantaranya dibunuh, setelah pemulihan
kedaulatan dan pembubaran NIT. Setelah itu hubungan-hubungan antara pusat dan
daerah di mata orang Sulawesi Selatan telah ternoda oleh kolaborasi yang
tersirat dalam pembentukan NIT .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar